Polisi Venezuela Tangkap Puluhan Komunitas LGBTQ
Polisi Venezuela menggerebek bar dan sauna yang populer di kalangan komunitas LGBTQ
REPUBLIKA.CO.ID, VALENCIA -- Pada tanggal 23 Juli malam, polisi menggerebek Avalon Club, yaitu sebuah bar dan sauna yang populer di kalangan komunitas LGBTQ di Kota Valencia, Venezuela. Penggerebekan ini membuat pelanggan klub terkejut dan memicu kritik tentang diskriminasi LGBTQ di Venezuela.
Seorang pelanggan menceritakan bagaimana polisi datang sambil berteriak, "Angkat tangan!" Petugas menangkap 33 pria dan menahan mereka di ruang ganti sauna.
“Saya sedang minum-minum dengan beberapa sahabat saya. Awalnya saya pikir itu lelucon," ujar seorang pelanggan klub, Ivan Valera.
Pelanggan lainnya, Ivan yang meminta untuk diidentifikasi dengan nama depannya saja dengan alasan privasi mengatakan, ketika itu polisi menyatakan mereka sedang melakukan inspeksi rutin. "Saat itu saya tenang. Saya hanya berpikir bahwa itu adalah prosedur polisi yang normal," ujarnya kepada Aljazirah.
Tapi kemudian petugas membawa Luis dan orang-orang lainnya ke markas polisi di Los Guayos, sebuah kotamadya yang berdekatan dengan Valencia. Orang-orang itu tidak diberi tahu kejahatan apa yang dituduhkan kepada mereka. Sebaliknya, polisi mengatakan bahwa mereka adalah saksi.
“Saat itulah saya mulai mempertanyakan apa yang sedang terjadi. Karena mengapa kita dijadikan sebagai saksi? Saksi untuk apa?" kata Luis.
Luis dipaksa menyerahkan ponselnya dan petugas mengambil foto dirinya. Luis kemudian menyadari bahwa dia telah ditahan.
"(Polisi) mengatakan saya berhak menerima panggilan telepon. Saat itulah saya mulai merasa bingung, apa yang terjadi? Mereka bahkan tidak memberi tahu kami bahwa kami ditangkap," ujar Luis.
Menjadi gay bukanlah kejahatan di Venezuela. Tetapi mereka akhirnya didakwa atas tuduhan perilaku cabul. Polisi menunjukkan gambar kondom dan pelumas sebagai bukti atas dugaan kejahatan tersebut.
Selain itu, foto-foto pria yang ditangkap tersebut bocor ke media lokal. Mereka dituduh berpartisipasi dalam "pesta HIV" dan merekam pornografi. Beberapa pria, seperti Luis, sebelumnya tidak mengungkapkan orientasi seksualitas mereka kepada publik.
Penangkapan massal itu menuai reaksi. Aksi protes pecah di Caracas dan Valencia. Demonstran menyerukan pembebasan 33 pria yang ditangkap tersebut. Tagar #LiberanALos33, atau “Bebaskan 33”, juga menjadi viral di platform media sosial X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter.
Sebanyak 30 orang akhirnya dibebaskan dengan pembebasan bersyarat setelah 72 jam dalam tahanan. Sementara tiga lainnya yaitu pemilik Avalon Club dan dua spesialis pijat, dibebaskan 10 hari setelah penangkapan mereka.
Efek jangka panjang dari penangkapan komunitas LGBTQ....
Kementerian Publik Venezuela dan Polisi Valencia tidak menanggapi banyak permintaan komentar terkait penangkapan tersebut. Legislator transgender pertama Venezuela dan kandidat dalam pemilihan presiden 2024, Tamara Adrian mengatakan, dia khawatir tentang efek jangka panjang dari penangkapan terhadap hak-hak LGBTQ.
“Sebenarnya tindakan seperti ini, dalam konteks Venezuela, mengirimkan pesan yang sangat kuat kepada polisi dan mengirimkan pesan yang sangat kuat kepada hakim bahwa orang LGBT dapat dianiaya karena menjadi LGBT,” kata Adrian.
Adrian juga mengaitkan penangkapan itu dengan upaya Presiden Nicolas Maduro untuk menggalang dukungan di antara orang-orang Kristen evangelis, yang beberapa di antaranya memiliki pandangan anti-LGBT. Populasi Kristen evangelikal membentuk setidaknya 17 persen dari total populasi negara.
“Madurismo dan Chavismo sedang mengalami momen terburuk mereka,” kata Adrian, menggunakan istilah yang mengacu pada gerakan politik di bawah Maduro dan pendahulunya, Hugo Chavez.
Adrian percaya Maduro sedang mendekati kaum evangelis untuk meningkatkan peringkatnya yang lesu. Bulan lalu, legislator dari partai Maduro, Partai Persatuan Sosialis Venezuela (PSUV), membuat kesepakatan untuk berkonsultasi dengan kelompok agama tentang inisiatif legislatif yang melibatkan kebijakan berorientasi keluarga. Putra presiden, Nicolas Maduro Guerra, yang menjabat sebagai wakil presiden masalah agama untuk PSUV Juli lalu, termasuk di antara para pemimpin yang bertemu dengan organisasi keagamaan.
Kesepakatan itu muncul setelah gereja evangelis dan kelompok sosial konservatif melakukan protes dan parade yang mempromosikan nilai-nilai “keluarga”. Langkah ini sebagai reaksi terhadap perayaan tahunan LGBTQ yaitu Pride Month.
Seorang aktivis LGBTQ Venezuela, Yendri Velasquez mengatakan, peristiwa penggerebekan dan penangkapan di sebuah klub gay baru-baru ini menandakan hubungan yang semakin dalam antara kelompok evangelis dan pemerintah Maduro. “Perwakilan utama dari negara sedang membentuk aliansi elektoral dengan kelompok-kelompok anti-hak. Saya yakin penangkapan 33 orang tersebut merupakan eskalasi dari homofobia politik dan transfobia yang sudah ada," ujar Velasquez.
Ini bukan pertama kalinya kelompok LGBTQ ditahan secara sewenang-wenang di Venezuela. Antara Januari 2021 dan Desember 2022, Observatorio de Derechos LGBTIQ+ mendokumentasikan 11 penahanan sewenang-wenang terhadap orang-orang LGBTQ yang dilakukan oleh polisi dan pasukan keamanan negara.
Empat dari kasus tersebut termasuk tindakan pemerasan, penyiksaan dan kekerasan termasuk pelecehan fisik, verbal atau psikologis. Organisasi tersebut juga menemukan empat penggerebekan polisi di ruang rekreasi LGBTQ selama periode tersebut.
“Selama 20 tahun (terakhir), tidak ada perubahan bagi komunitas LGBT,” kata Direktur Program Venezuela di Kantor Washington untuk Amerika Latin (WOLA), Laura Dib.
Dib mengaitkan kurangnya kemajuan dengan “kemerosotan demokrasi” berkat Chavez, Maduro. Termasuk penutupan organisasi yang diduga menghadapi intimidasi negara, seperti kelompok hak asasi manusia, stasiun radio independen, dan outlet berita.
“Jika Anda melihat diskusi di legislatif selama 20 tahun terakhir, hampir tidak ada diskusi tentang hal-hal seperti hak seksual dan reproduksi, dan perlindungan hak LGBTQ. Dan ini adalah hasil dari penutupan ruang sipil dan penganiayaan terhadap kelompok hak asasi manusia dan pembela hak asasi manusia," ujar Dib.
Venezuela tetap menjadi salah satu negara paling konservatif di Amerika Selatan untuk hak LGBTQ. Venezuela adalah salah satu dari sedikit negara di kawasan ini yang tidak menawarkan pengakuan hukum untuk pasangan sesama jenis. Di negara tersebut, individu transgender tidak dapat secara legal mengubah jenis kelamin mereka pada dokumen resmi.
Venezuela memiliki beberapa undang-undang untuk mencegah diskriminasi atas dasar orientasi seksual. Namun para kritikus mengatakan, dalam praktiknya undang-undang itu jarang ditegakkan. Dalam kasus penangkapan 33 pria di Avalon Club, Jaksa Agung Venezuela, Tarek William Saab telah merekomendasikan agar dakwaan dibatalkan. Namun pengalaman tersebut telah menggoyahkan harapan Luis terhadap masa depan komunitas LGBTQ di Venezuela.
"(Apa yang terjadi) pada kami semacam menegaskan kembali bahwa, di sini di Venezuela, kami tidak semua sama. Di sini tidak ada hak, di sini tidak ada kesetaraan, dan (penangkapan) ini menegaskannya," ujar Luis.