Apa Hukum Mempertahankan Kemerdekaan Negara dari Penjajah?
Ulama menjawab hukum mempertahankan kemerdekaan negara dari penjajah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Salah satu pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asy'ari merupakan pencetus fatwa resolusi jihad pada 1945. Kisah ini pernah diceritakan oleh Walikota Surabaya Eri Cahyadi.
Presiden RI Sukarno pernah menanyakan kepada KH Hasyim Asy'ari apa hukum mempertahankan negara ini dalam melawan penjajah. Saat itu, Kiai Hasyim menjawabnya, bahwa hukum mempertahankan negara adalah wajib.
Berawal dari perkataan Kiai Hasyim, muncul yang namanya Resolusi Jihad atau upaya mempertahankan harga diri bangsa Indonesia dari pendudukan bangsa asing di Kota Pahlawan.
Pada saat itulah, Hasyim Asy'ari mengumpulkan para kiai, mulai dari wilayah Jawa hingga Madura. Mereka berbondong-bondong datang ke tempat Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO), yang sekarang menjadi Kantor Pengurus Cabang NU (PCNU) di Jalan Bubutan. Setibanya di HBNO, para kiai merapatkan strategi melawan sekutu bangsa asing di Kota Pahlawan.
"Di Kantor PCNU itu lah, tempat tercetusnya resolusi jihad. Setelah resolusi jihad muncul, para santri berdatangan dari segala penjuru, untuk mempertahankan bangsa Indonesia. Maka dari itu, NU tidak bisa dipisahkan dari santri, dan Surabaya. Surabaya adalah NU. Nu adalah Surabaya," ujar dia.
Ketua PBNU, Sulton Fathoni menceritakan bahwa upaya koloni baru Belanda pascakemerdekaan Indonesia 1945 mendapatkan tantangan keras. Dua tokoh bangsa, Bung Karno dan KH Hasyim Asyari saat itu mengatur strategi.
Mula-mula Bung Karno mengirim utusan menjumpai KH Hasyim Asyari untuk minta pendapat hukum mempertahankan kemerdekaan.
Gayung bersambut, KH Hasyim Asyari mengkonsolidasikan para kiai untuk merespons Bung Karno, sehingga keluarlah Fatwa Jihad pada tanggal 17 September 1945. Isinya, setiap individu harus mempertahankan kemerdekaan dan konsekuensi berat bagi yang mencederai kemerdekaan Indonesia.
Manusia punya naluri rasa takut terhadap kematian. Namun, menurut Sulton, Fatwa Jihad berhasil membalikkan rasa takut atas kematian itu menjadi rasa perjalanan jiwa menuju Tuhan. Konsolidasi massal umat Islam terjadi secara cepat.
"Aksi heroik santri dan masyarakat dipimpin para kiai merebak di mana-mana. Laskar-laskar yang tumbuh di pondok-pondok pesantren keluar sarangnya melakukan aksi perlawanan. Suhu perlawanan pun terbentuk dan tidak ada yang bisa mengendalikan heroisme massal kecuali para kiai," ujar dia.
Pada situasi ini KH Hasyim Asyari dan Bung Karno kembali berstrategi. Mula-mula KH Hasyim Asyari menggelar Rapat Besar Konsul-Konsul Nahdlatul Ulama se Jawa dan Madura pada tanggal 2122 Oktober 1945 di Surabaya. Di antara yang hadir adalah KH Kamil Sholeh (Sumatera Selatan), KH Romli (Makassar), Abdul Qodir Hasan (Banjarmasin), KH. Faishal (Lombok Tengah), KH Abdurrahman (Pandeglang), KH Abdul Hamid (Bogor), KH Abdul Halim (Majalengka), KH Abbas (Buntet Cirebon), KH. Amin (Babakan Cirebon), KH Ridwan (Semarang), KH Maksum (Lasem), KH. KH Asnawi (Kudus), KH Mahfudh Shiddiq (Jember), KH Usman (Cepu) dan lainnya.
Hasilnya, KH Hasyim Asyari mengirim surat resmi yang populer dengan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Substansi Resolusi Jihad adalah penegasan bahwa NICA dan Jepang sebagai kelompok kriminal yang sering mengganggu ketenteraman umum. Disamping itu aksi perlawanan rakyat mempertahankan kemerdekaan tidak terbendung. Karena itu, Pemerintah Pusat harus cepat mengambil sikap dan langkah tegas.
Tak membutuhkan waktu lama, Bung Karno merespons Resolusi Jihad dengan keputusannya bahwa persoalan lokal diserahkan kepada tokoh-tokoh lokal. Bung Karno seolah-olah berbisik secara batin, Kiai Hasyim, sikat!. "Maka meledaklah pertempuran sengit di Surabaya yang dipelopori Laskar Sabilillah yang berisi para kiai dan Laskar Hizbullah yang terdiri dari para santri," tutur Sulton.