Perjuangan Ulama Aceh Rebut Kemerdekaan
Ulama Aceh mengorbankan nyawa mereka demi meraih kemerdekaan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam periode awal abad ke-20, Aceh masih berperang melawan penjajahan Belanda. Aceh juga telah mulai berkenalan dengan unsur-unsur kebudayaan Barat, yaitu pendidikan modern yang mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Pada awal tahun 1900 perlawanan terhadap Belanda masih terus berlangsung. Perlawanan itu dipimpin oleh Sultan Muhammad Daud Syah, Teuku Panglima Polem Raja Daud, Teungku Di Mata le, Teungku Di Barat (Pasai Aceh Utara), Tengku Cot Plieng, Teungku Alue Keutapang. Teungku Di Reube, Tengku Di Beureueh, Teungku Di Lam Gut (Pidie), Teuku Ben Peukan Meureudu, Teungku Di Krueng Sinagen, Teuku Ben Blang Pidie, Habib Meulaboh, dan teungku-teungku dari Tiro seperti Teungku Chik Mayet dan Teungku Di Buket.
Walaupun Sultan Aceh Muhammad Daud Syah terpaksa menyerah pada Januari 1903, namun peperangan melawan penjajah kafir Belanda masih terus berlangsung. Teungku Cot Plieng beserta pengikutnya melakukan penyerangan secara terus menerus terhadap penjajah Belanda. Demikian juga halnya di Aceh Utara, perang sabil terus berlanjut yang dipimpin oleh Teungku Di Barat dan Teungku Di Mata le bersama-sama dengan pemimpin adat lainnya Teungku Chik Di Tunong, Pang Nanggroe dan Cut Meutia.
Kekejaman Van Daalen Bantai Pejuang Aceh
Hal yang sama juga terjadi di Gayo Alas. Untuk menundukkan daerah tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengirimkan Letnan Kolonel Yan Dealen untuk mengadakan hubungan politik dengan raja-raja di sana. Di daerah Gayo, Van Daalen mendapat perlawanan yang sengit. Rakyat Gayo baik laki-laki maupun perempuan, bahkan anak-anak sekalipun dengan gagah berani mempertahankan setiap jengkal tanah pusaka mereka dari gempuran serdadu Belanda.
Lihat halaman berikutnya >>>
Van Daalen telah melaksanakan tugasnya dengan sangat kejam dan biadab. la tidak segan-segan membantai lawan-lawannya dalam setiap pertempuran. Hal ini dapat dilihat dari korban pembantaiannya yang dilakukan pada pertempuran di desa Kuto Reh, Likat dan Kuto Lengat (tanah Geyo).
Dalam pertempuran ini Van Dealen telah membunuh secara massal pejuang Aceh yang tidak hanya laki-laki, tetapi juga kaum wanita dan anak- anak yang tidak berdosa.
Dalam periode ini banyak para ulama dan pejuang yang syahid. Para ulama terkemuka itu antara lain adalah Teungku Di Alue Keutapang, Teungku Kadli, Teungku Di Cot Cicem, Tengku Leman dan para ulama lainnya.
Korban keganasan Belanda juga dialami oleh Sultan Aceh Muhammad Daud Syah. Ia dianggap telah melanggar janji kesetiaannya kepada Belanda, karena turut membantu para ulama dalam melakukan perang sabil. Akibatnya pada bulan Desember 1907, Sultan Muhammad Daud Syah dibuang oleh Belanda ke Ambon.
Belanda memperkirakan bahwa dengan dibuangnya sultan, perlawanan para ulama dan pejuang lainnya secara berangsur-angsur akan turun dan takluk kepada Belanda. Namun perkiraan ini meleset, bahkan rakyat Aceh masih melancarkan penyerangan secara sistematis seperti yang terjadi di Lhok Seumawe, Lhok Sukon, ldi dan Tapaktuan.
Menghadapi situasi seperti ini, gubernur militer Belanda Letnan Kolonel H.N.A. Swart sejak ditugaskannya di Aceh pada 10 Juni 1908, melakukan pengejaran secara besar-besaran terhadap para ulama yang memimpin peperangan. Pada September 1909, Teungku Di Buket den Teungku Chik Mayet syahid, keduanya adalah putera Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman.
Beberapa kekalahan lainnya di pihak Aceh adalah menyerahnya Teuku Banta dengan 106 pengikutnya (Juli 1908). Teuku Ben Blang Pidie dengan 160 pengikutnya (Juli 1908). Setahun kemudian banyak juga para alim ulama yang gugur. Di antaranya, Teungku Di Kunat (November 1909), Teungku Di Reubee (Desember 1909), Habib Ahmad (Mei 1910). Teungku-Saleh, Teungku Kalipah, Teungku Ma'at (Maret 1911 ), dan Teungku Di Barat (Februari 1912).
Selain itu karena tekanan-tekanan yang dilakukan Belanda, menyerah juga Teungku Leman dari keluarga ulama Tiro (September 1910), Teungku Di Pidie di Aceh Barat. Keujruen Pameue (Maret 1911), Habib Musa dan Teungku Mat Aceh (1913).
Perlawanan Terhadap Kolonialisme tidak Berakhir
Walaupun Belanda melakukan tekanan secara terus menerus terhadap para ulama dan pejuang Aceh. Namun perlawanan terhadap kolonialisme Belanda tidak pernah berakhir secara total.
Lihat halaman berikutnya >>>
Pada tahun 1925, di Aceh Selatan muncul perlawanan terhadap Belanda yang dipimpin oleh Cut Ali. Oleh Belanda dianggap sebagai seorang pemimpin yang berinisiatif dan mempunyai otak yang tajam.
Dari laporan Belanda juga disebutkan bahwa pada tahun 1926, Teuku Raja Tampol dan Pang Karim masih merupakan bahaya besar terhadap ketentraman dan ketertiban pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian pada tahun 1928, muncul gerakan Teungku Amin di Tapaktuan. Pemberontakan Bidin Keubay di Lhol Pawoh Utara. Serangan Khadem Ambong di kenegerian Manggeng Aceh Selatan. Selanjutnya pada tahun 1933 muncul perlawanan rakyat di Lhong Aceh Besar. Kasus yang sama juga terjadi di Leupueng pada tahun 1937.
Jadi dapat dikatakan bahwa perlawanan yang dilancarkan oleh para alim ularna dan pejuang Aceh lainnya terhadap Belanda terus berlanjut sampai dengan berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia dan Aceh khususnya pada tahun 1942. Walaupun perlawanan dilakukan dalam jumlah dan kelompok kecil, namun tetap merepotkan pemerintah kolonial Belanda.
Pada akhir periode zaman pergerakan nasional, aktivitas alim ulama di Aceh masih mewarnai kehidupan politik dan sosial budaya di Aceh. Dalarn masa ini aktivitas para ulama lebih terarah pada bidang pendidikan. Para alim ulama membentuk sebuah organisasi modern dengan nama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Organisasi ini lahir setelah para alim ulama dari seluruh Aceh melakukan musyawarah di Matang Glumpang Dua (Aceh Utara), yang diprakarsai oleh seorang ulama terkemuka Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap pada 5 Mei 1939, atau bertepatan dengan hari perayaan Maulid Nabi 12 Rabbi'ul Awai 1358 Hijriyah.
Dilansir dari buku Tokoh Agama Dalam Perjuangan Kemerdekaan 1945-1950 di Aceh yang ditulis Rusdi Sufi, Muhammad Nasir, Zulfan dan diterbitkan Proyek Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997.