Awal Mula Kehidupan Muslim di Eropa Hingga Muncul Islamofobia
Islamofobia harus direspons dengan kearifan Islam.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muncul aksi-aksi ekstrem karena islamophobia di berapa negara di Eropa. Seperti aksi membakar Alquran yang dilakukan anggota kelompok sayap kanan Denmark, Danske Patrioter belum lama ini.
Aksi membakar Alquran tersebut dilakukan Danske Patrioter di depan gedung beberapa Kedutaan Besar (Kedubes) yang ada di Kopenhagen, Denmark. Aksi membakar Alquran juga dilakukan di depan Kedubes Indonesia oleh Danske Patrioter.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim, menjelaskan sejarah singkat umat Islam di Eropa hingga munculnya islamophobia dan aksi membakar Alquran baru-baru ini.
Ia menyampaikan, awalnya umat Islam di Eropa, Amerika dan Australia adalah imigran dari Timur Tengah dan Afrika Utara. Mereka adalah para pencari kerja dan di antara mereka ada juga yang dibawa oleh pemerintah setempat yang ada di Eropa untuk bekerja di sana.
"Pada masa gelombang pertama imigrasi umat Islam, mereka masih memiliki banyak kendala, di antaranya karena perbedaan agama, kebiasaan, bahasa, ras dan lain sebagainya," kata Sudarnoto saat diwawancarai Republika di Jakarta, Selasa (15/8/2023).
Sudarnoto menerangkan, semua kendala yang dihadapi Muslim menimbulkan disparitas. Umat Islam juga mengalami banyak persoalan seperti sulit berkomunikasi, karena perbedaan bahasa.
Pada masa awalnya, Muslim di Eropa, Amerika dan Australia status ekonomi dan sosialnya berada di bawah. Mereka juga termarginalisasikan karena mereka umumnya menjadi para pekerja kelas bawah.
"Tapi generasi ketiga dan keempat, saat ini sudah generasi keempat, itu (Muslim) sudah mengalami perubahan yang luar biasa, anak-anak Muslim yang imigrasi ke Eropa, Amerika dan Australia sudah bisa berbahasa Inggris dan sudah melebur dengan budaya lokal," ujar Sudarnoto.
Ada proses akomodasi terhadap Muslim juga. Sebab tingkat penerimaan masyarakat Eropa banyak juga yang bagus terhadap Muslim.
Sekarang, Muslim di Eropa tingkat pendidikannya tinggi, ada juga yang menjadi profesional, akademisi dan politisi. Sekarang di Inggris ada beberapa Muslim yang menjadi walikota. Jadi di tengah masyarakat umum, Muslim sudah tidak memiliki persoalan terkait hubungan.
Xenophobia
Lambat laun, seiring dengan kemajuan dan keberhasilan umat Islam di Eropa. Di kalangan tertentu muncul kecemburuan, kebencian dan ketakutan terhadap Muslim di antaranya adalah mereka yang xenophobia.
"Tapi kemudian ada kelompok tertentu di masyarakat, misalnya di Jerman yang menyimpan perasaan xenophobia, xenophobia adalah perasaan benci, khawatir dan takut dengan kehadiran orang lain yang berbeda suku, agama, bahasa, nasionality dan lain sebagainya," jelas Sudarnoto.
Sudarnoto menjelaskan, Muslim di Eropa banyak yang sudah menjadi warga negara asli. Kelompok-kelompok tertentu ekstrem kanan itu masih menganggap Muslim sebagai ancaman.
Di Jerman, dulu ada neo Nazi. Mereka tidak suka dengan kehadiran orang Turki. Anak-anak neo Nazi banyak yang tidak kerja karena pendidikannya tidak bagus dan banyak yang kacau kehidupannya. Tapi mereka tidak mau ada kehadiran orang yang berbeda dengan mereka.
"Itulah kemudian yang membuat munculnya kebencian terhadap orang Turki (Muslim), kebencian itu kemudian meluas dan menyebar dan sekarang menjadi Islamophobia," kata Sudarnoto.
Menurut Sudarnoto, fenomena dan gejala xenophobia yang terjadi di Jerman juga muncul di tempat-tempat lain seperti di Amerika. Ditambah ideologi mereka memperburuk keadaan. Jadi ideologi kanan itu tidak selalu mesti berkaitan dengan agama. Ada yang namanya sekuler kanan seperti yang ada di Denmark, ada sekuler kanan bahkan ada ateis.
Kelompok sekuler kanan ini tidak suka melihat pertumbuhan umat Islam. Kebencian mereka jelas sekali, mereka meminta supaya Swedia dan Denmark menghapuskan Islam.
"Swedia dan Denmark adalah negara demokratis liberal dan paling liberal di dunia dan paling sekuler, memang negara lain seperti Prancis dan Inggris sekuler juga tapi tidak sampai sekuler kanan seperti Swedia dan Denmark," ujar Sudarnoto.
Sudarnoto mengatakan, ada dimensi ideologis, kebencian dan agama, semua itu bercampur jadi islamophobia. Inilah yang digerakkan Rasmus Paludan dan kawan-kawannya.
Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional ini menerangkan, aksi membakar Alquran dan islamophobia menjadi persoalan, Swedia dan Denmark kerepotan. Kalau tidak ditangani pasti repot.
"Saya sudah bilang kalau tidak ditangani pasti repot karena akan menimbulkan tindakan kekerasan baru yang dilakukan oleh siapa saja," ujar Sudarnoto.
Perlunya Undang-Undang Anti Islamophobia
Sudarnoto menyampaikan, problem di Swedia dan Denmark adalah undang-undang (UU). Mereka tidak punya undang-undang yang melarang membangun semangat anti Islam atau penistaan agama. Artinya mereka boleh menistakan agama atas nama demokrasi kebebasan berpendapat. Kalau di negara-negara barat lain itu tidak seperti itu.
"Jadi deklarasi PBB (menangkal Islamophobia) yang didorong oleh OKI memang baru deklarasi tapi sebetulnya harus semua negara termasuk negara Muslim, harus mengadopsi deklarasi ini dan diterjemahkan ke dalam undang-undang di negara masing-masing," jelas Sudarnoto.
Kalau tidak membuat undang-undang anti islamophobia, pasti akan muncul aksi yang menistakan agama. Sekarang aksi bakar Alquran yang terjadi di Swedia dan Denmark itu hanya dilihat sebagai persoalan sebatas mengganggu keamanan. Tentu masalahnya menjadi tidak akan selesai, karena tidak ada undang-undang penistaan agama.
"Negara mereka (Denmark dan Swedia) hanya menjaga jangan sampai ada keributan tapi mereka tidak menyelesaikan sampai ke akarnya," ujar Sudarnoto.
MUI mendorong aliansi di Eropa, aliansi lintas agama dan lintas negara di Eropa harus paham bahwa islamophobia bukan semata-mata masalah umat Islam. Itu sudah menggambarkan dengan kasat mata bahwa martabat agama apa saja, martabat kemanusiaan dan kedaulatan kemanusiaan itu diabaikan di Eropa. Itu adalah problem besar.
"Karena itu, sebetulnya dengan undang-undang misalnya ada undang-undang anti islamophobia sebenarnya melindungi kedaulatan agama apa saja, dan melindungi kedaulatan manusia, itu bukan berarti membatasi orang berpendapat, tapi jangan sampai mengganggu kedaulatan, itu adalah demokrasi yang sehat," jelas Sudarnoto.
Sudarnoto menjelaskan maksudnya adalah aliansi di Eropa membuat semacam tekanan dengan cara yang bagus. Nantinya disalurkan sebagai perjuangan konstitusi, produknya adalah undang-undang anti islamophobia atau anti penistaan agama.
"Ini harus menjadi keputusan politik dan hukum, bukan hanya keputusan keamanan. MUI mendorong negara harus benar-benar memberi perlindungan terhadap siapa saja yang beragama apa saja," tegas Sudarnoto.