Ketika Kejagung Mengusut Dugaan Mengorupsi Atas Aset Korupsi

Kejagung tidak mau kehilangan aset yang harusnya dikembalikan ke kas negara,

istimewa/dok humas kejagung
Anggota Komisi I DPR, Ismail Thomas, saat dibawa ke Kejaksaan Agung (Kejagung), Selasa (15/8/2023).
Rep: Bambang Noroyono Red: Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan dan menangkap tersangka anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ismail Thomas (IT). Politikus PDI Perjuangan ini diduga melakukan pemalsuan dokumen, dan izin atas hak kepemilikan lahan pertambangan batubara PT Gunung Bara Utama (GBU) di Kutai Barat, Kalimantan Timur (Kaltim).


Dalam kasus ini, sejatinya Kejagung sedang mengusut aksi Ismail Thomas, yang mereka duga seperti hendak mengkorupsi aset hasil sitaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) PT Asuransi Jiwasraya.

Kasus ini berawal ketika Kejagung menangani perkara dugaan korupsi PT Jiwasraya, pada 2020. Dalam perkara ini penyidik Kejagung merampas  aset berupa tambang batubara dari tangan terpidana penjara seumur hidup Heru Hidayat (HH), bos di PT Trada Alam Minera (TRAM).

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Ketut Sumedana mengatakan, penyitaan ini dilakukan Kejagung untuk menutup kerugian negara senilai  Rp.16,8 triliun. Dalam putusan Mahkamah Agung (MA) 2021 kasus megakorupsi dan TPPU Jiwasraya, terpidana Heru Hidayat juga dihukum untuk mengganti kerugian negara sebesar Rp.10,8 triliun.

Pada Kamis, 8 Juni 2023 Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejakgung merilis resmi telah berhasil melakukan sita eksekusi atas PT GBU tersebut. Yaitu dengan melakukan lelang terbuka. Dan hasilnya, PT GBU terjual senilai Rp 1,94 triliun. Pembelinya adalah PT Indobara Utama Mandiri.

Namun ternyata proses eksekusi pascalelang ini tak dapat dilakukan. Penyebabnya,  Ismail Thomas, sebagai pihak ketiga  melalui PT Sendawar Jaya melayangkan gugatan keperdataan ke Pengadilan Negeri (PN Jaksel). Ismail Thomas mengklaim jika lahan tambang itu adalah kepemilikan PT Sendawar Jaya.

 

Dalam gugatan ke PN Jaksel tersebut, PT Sendawar Jaya menjadikan Kejakgung sebagai pihak turut tergugat. Tergugat utamanya, adalah PT GBU.

Ismail Thomas yang juga mantan Bupati Kutai Barat selama dua periode 2006-2016 itu, melalui gugatan PT Sendawar Jaya pokoknya meminta PN Jaksel memerintahkan Kejakgung menangguhkan status sita atas lahan tambang PT GBU. Meminta PN Jaksel memerintahkan Kejakgung membatalkan proses lelang atas lahan tambang PT GBU. Meminta agar PN Jaksel menyatakan lahan tambang PT GBU adalah milik sah PT Sendawar Jaya.

Ternyata PN Jaksel mengabulkan sebagian gugatan tersebut, melalui putusan 4 Juni 2023. PN Jaksel menyatakan lahan dan lokasi pertambangan PT GBU seluas 5.350 Ha adalah milik sah dari PT Sendawar Jaya. PN Jaksel juga memerintahkan agar lahan dan lokasi pertambangan PT GBU yang dalam status sita eksekusi oleh Kejakgung dikosongkan, dan dikembalikan kepada PT Sendawar Jaya.

Akibat putusan itu, pelunasan Rp 1,94 triliun dari hasil lelang PT GBU untuk disetorkan ke kas negara sebagai pengganti kerugian korupsi dan TPPU Jiwasraya, menjadi tertunda.

Tidak terima dengan putusan PN Jaksel, Kejagung naik banding. Dan ternyata hasil banding Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memutuskan menganulir putusan perdata PN Jaksel.

Putusan PT DKI Jakarta ini tidak diterima Ismail. Ia kembali melawan dengan mengajukan kasasi ke MA. "Dan saat ini, kata Ketut, proses kasasi atas kasus kepemilikan lahan tambang batu bara tersebut belum diputuskan MA,” kata Ketut.

Akan tetapi, lanjut Ketut, penelusuran yang dilakukan tim penyidikan di Jampidsus Kejagung menemukan bukti-bukti  penggunakan dokumen-dokumen palsu dan surat-surat izin kepemilikan yang imitasi atas lahan tambang PT GBU.

“Dokumen-dokumennya apa saja, saya tidak dapat menyebutkan di sini, karena ini adalah alat bukti untuk proses hukum yang sedang berjalan. Tetapi pada intinya, ini terkait dengan izin-izin pertambangan PT Sendawar Jaya yang digunakan untuk proses persidangan itu palsu,” ungkap Ketut.

Atas perbuatan tersebut, kata Ketut, penyidik di Jampidsus menjerat Ismail Thomas dengan sangkaan Pasal 9 Undang-undang (UU) 31/1999-20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Sangkaan tersebut terkait ancaman penjara terhadap penyelanggara negara yang melakukan pemalsuan dokumen, serta daftar-daftar administrasi untuk pemeriksaan.

Sebagai tersangka, Ismail Thomas, sejak Selasa (15/8/2023) malam, pun ditangkap dan dijebloskan ke sel tahanan untuk proses penyidikan lanjutan.

Dalam perkara ini, sepertinya Kejagung tidak mau aset sitaan yang akan dikembalikan ke negara, menguap begitu saja. Mereka ingin uang negara bisa dikembalikan ke negara.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler