Soal Kampanye di Sekolah, Pengamat: Jangan Sampai Sekolah Terafiliasi Caleg atau Partai
Kampanye di sekolah harus disertai aturan yang jelas.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA–Pengamat pendidikan Ubaid Matraji memperingatkan agar sekolah atau pengurus sekolah tidak terafiliasi dengan peserta pemilu atau partai politik manapun yang berpotensi memaksa atau menggiring siswa untuk cenderung kepada salah satu partai dan tokoh tertentu. Hal ini dikatakannya sebagai respons keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan kampanye di sekolah.
Ubaid yang juga Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebut, sekolah atau pengurus sekolah yang terafiliasi dengan partai tertentu selama ini banyak dikeluhkan terjadi. Lampu hijau untuk kampanye di sekolah dikhawatirkan akan semakin melanggengkan fenomena ini.
"Jangan sampai ada penggiringan kemudian intimidasi. Karena kepala sekolah itu adalah jabatan yang bisa dibilang juga sangat terkait dengan afiliasi politik. Jadi orang yang diangkat menjadi kepala sekolah tentu juga bisa ditelusuri banyak juga kepentingan-kepentingan politik di situ," jelas Ubaid Matraji, Sabtu (19/8/2023).
Menurutnya, penggiringan suara hingga intimidasi di sekolah sangat mungkin terjadi, terutama jika kampanye di sekolah benar-benar dibolehkan. Intimidasi seperti dengan memberi perlakuan berbeda kepada siswa yang punya pilihan politik berbeda disebutnya sangat mungkin terjadi.
Untuk menghindari risiko ini, Ubaid meminta lembaga penyelenggara pemilu hingga lembaga pengawasnya untuk memperjelas aturan kampanye di sekolah. Siswa dikatakannya harus tahu mana kampanye yang benar dan salah dan tahu cara melaporkan kampanye yang menyimpang dari aturan.
"Karena itu keputusan MK itu jangan kemudian langsung ditelan mentah-mentah, tapi harus dijelaskan aturan detailnya seperti apa. Karena yang terjadi sekarang saja sudah begitu, ada banyak penggiringan suara di sekolah walaupun peraturannya nggak ada. Tapi saat kampanye dibolehkan, harus dijelaskan bagaimana mekanisme kamoanye di sekolah, komplainnya ke siapa, lengawasannya ke siapa, perizinannya lewat mana, siapa yang terlibat, model diskusi seperti apa yang diperbolehkan," ujarnya.
Kampanye di sekolah juga tidak boleh dimonopoli oleh tokoh atau partai tertentu. Perizinan untuk kampanye juga tidak boleh dimonopoli dari kepala sekolah saja, tapi siswa dan komite sekolah harusnya bisa mengundang peserta politik.
"Institusi pendidikan itu harus menjadi institusi yang inklusif, jadi wali murid bisa mengusulkan (peserta pemilu) atau komunitas sekolah bisa mengusulkan atau kalau di kampus ada BEM bisa. Jadi jangan dimonopoli satu pihak dan yang masuk adalah gagasan intelektual, gagasan program, jadi bukan hal yang lain di luar pendidikan," katanya.