Apa Kata Al-Quran tentang Artificial Intelligence (AI)?
Artificial intelligence (AI) bisa lebih berbahaya daripada nuklir, tulis Elon Musk dalam akun twitternya pada tahun 2014.
Oleh: Umair Fahmiddin, Lc., Dipl.
Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Tafsir dan Ilmu al-Qur’an, Universitas Al-Azhar, Kairo.
“Artificial intelligence (AI) bisa lebih berbahaya daripada nuklir,” tulis Elon Musk dalam akun twitternya pada tahun 2014. Pernyataan itu kemudian dikuatkan dengan laporan World Economic Forum (WEF), robot, otomatisasi, dan AI, akan bisa menggantikan 85 juta pekerjaan manusia pada tahun 2025. Namun, WEF juga memperkirakan AI akan menciptakan sekitar 97 juta pekerjaan baru pada periode yang sama.
Mengapa muncul pemikiran, AI akan berpotensi mengancam manusia? Jawabannya, karena robot dan teknologi berbasis AI dapat bekerja lebih akurat, lebih cepat, lebih murah, lebih menguntungkan, apalagi teknologi dianggap tidak akan menuntut kenaikan upah, THR, dan sebagainya.
Berbicara tentang AI, sebenarnya tidak selalu mengancam manusia. Sama seperti sebelumnya, saat peralihan dari perkembangan teknologi pertanian ke industri. Sekarang, dari industri menuju tekologi berbasis AI.
Pada tahun 1950, Alan Turing, sosok bapak AI pernah menulis di dalam sebuah jurnal yang berjudul, “Apakah mesin bisa berfikir?” Ternyata, ide setengah abad yang lalu itu bukan cerita fiksi lagi, namun mulai menjadi kenyataan.
Terbukti. Kalkulator adalah robot cerdas generasi awal yang membantu manusia menghitung dengan cepat dan akurat. Kemudian, lahirlah google, salah satu mesin pencari yang amat cerdas. Berikutnya, ChatGPT, yaitu chatbot berbasis AI yang dapat melakukan interaksi percakapan dengan penggunanya secara luwes.
Sadarkah kita? Jika teknologi yang canggih hari ini hanya berupaya menduplikasi kecerdasan manusia yang mampu belajar, membaca, menulis, berbahasa, bahkan berfikir layaknya manusia. Namun, dalam perangkat teknologi tidak dikenal “jiwa” yang menjadikan manusia, sebagai manusia.
“Maka apabila Aku telah menyempurnakannya, dan telah Ku-tiupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kepadanya dalam keadaan sujud.” [al-Hijr: 29]. Menurut Prof. Dr. M Quraish Shihab, MA., kata “ruh,” yang dimaksud di sini adalah memberi potensi ruhaniah kepada makhluk manusia yang menjadikannya dapat mengenal Allah SWT [al-Misbah 7/123].
Sedangkan ayat al-Qur’an yang lain menyebutkan bahwa manusia itu “Ahsan taqwîm atau sebaik-baik bentuk” [at-Tin: 4]. Mengapa demikian? Menurut ar-Raghib al-Ashfahani, pakar bahasa al-Qur’an, kata taqwîm di sini mengisyaratkan tentang keistimewaan manusia dibanding binatang, yaitu akal, pemahaman, dan bentuk fisiknya yang tegak dan lurus [al-Mufradât fi Gharîb al-Quran’an 693].
Di samping itu, manusia merupakan makhluk yang istimewa karena diberi akal untuk berfikir. Dalam ilmu mantiq atau logika, manusia didefinisikan sebagai hayawân nâtiq, yaitu makhluk yang berfikir. Itulah alasan manusia dianggap cerdas. Perintah berfikir juga banyak diisyaratkan di dalam ayat al-Qur’an, salah satunya, “Maka berpikirlah, wahai orang-orang yang berakal budi” [al-Hasyr: 2].
Melihat perkembangan AI yang luar biasa. Menjadi keniscayaan, manusia modern hidup dengan AI. Sedangkan persoalan kehidupan, tidak ada habisnya. Ummat pun selalu membutuhkan bimbingan. Kehadiran AI memberikan banyak kemudahan sebagai sarana untuk bertanya, termasuk seputar keagamaan. Sebagai seorang muslim, mungkinkah bertanya atau meminta fatwa ke AI?
Pertama. Prinsip dasarnya, ketika seseorang tidak tahu, maka bertanyalah kepada orang yang tahu. Pernyataan tersebut juga termuat di dalam al-Qur’an, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ahl adz-dzikr) jika kamu tidak mengetahui” [an-Nahl: 43]. Dalam ilmu usul fikih, perintah bertanya di sini akan terus berlaku selama ada sebabnya, yaitu ketidaktahuan.
Kedua. AI adalah alat (benda mati), dan tidak termasuk ahl adz-dzikr (orang yang mempunyai pengetahuan). Ia hanya berfungsi sebagai pembantu manusia. Seperti halnya alat kesehatan yang mampu mediagnosis penyakit pasien, namun tetap saja ia membutuhkan dokter untuk mengambil keputusan. Ini pula yang berlaku di dalam meminta fatwa.
Menurut Dr. Mukhtar Muhsin Muhammad, anggota Lembaga Fatwa Darul Ifta Mesir di dalam kitabnya, Manâhij al-Iftâ’, bila persoalan yang ditanya belum pernah dibahas di kitab para ulama, di sinilah kita akan menguji kehebatan AI, mampukah ia memberikan analisa dari jutaan data dengan cepat. Karena AI hanya sebagai alat bantu, maka jawaban yang diberikan AI pun harus tetap dikonsultasikan ke ahl adz-dzikr, yaitu ulama, kiai, atau ustadz yang ahli dibidang terkait.
Islam, sebagai agama yang shâlih li kulli zamân wa makân (sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi zaman), Islam selalu mendukung perkembangan teknologi. Bahkan, Islam pernah memegang kemajuan teknologi berabad sebelum Barat menguasainya. Dan itu tidak membuat para ilmuan muslim menuhankan benda mati. Seperti kisah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bisa bersuara, buatan Samiri, yang disembah dan dipuja oleh Bani Israil.