Ghufron KPK: Korupsi Dilarang Agama, tapi Tetap Dilakukan
Ghufron menilai korupsi sudah jadi musuh dalam selimut, masif di semua sektor.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan korupsi telah menjadi ancaman dan tantangan bagi ketahanan nasional. Korupsi telah terjadi di berbagai sektor.
"Korupsi saat ini sudah menjadi musuh dalam selimut, masif di semua sektor dan terjadi dari pusat hingga daerah. Korupsi juga jadi faktor pemecah negara modern, dilakukan oleh multi-aktor yaitu terdiri dari berbagai suku dan agama. Terakhir, korupsi telah menjadi bahaya laten, sehingga jadi ancaman dan tantangan ketahanan nasional," kata Ghufron dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.
Ghufron mengatakan hal itu dalam Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XXIV Tahun 2023 Lemhannas RI di Gedung Pancagatra Lemhannas, Jakarta, Selasa (29/8), yang diikuti 79 peserta dari anggota TNI, Polri, kementerian, lembaga negara, organisasi kemasyarakatan, dan badan usaha.
Menurut Ghufron, sikap permisif masyarakat terhadap korupsi menjadi salah satu penyumbang tingginya tindak pidana korupsi masih terjadi di Indonesia.
Dia merujuk pada hasil Survei Perilaku Antikorupsi oleh Badan Pusat Statistik (BPS), yang menyebut bahwa masyarakat Indonesia paham jika korupsi melanggar agama, norma, dan hukum; namun, dalam praktiknya masyarakat berperilaku apatif dan permisif terhadap perilaku korupsi.
"Masyarakat kita tahu bahwa korupsi itu dilarang agama dan melanggar hukum. Namun, dalam pengamalannya, masih tetap dilakukan bahkan pada level tertentu dianggap wajar," jelas Ghufron.
Ia mencontohkan saat mengurus sesuatu di pemerintah, wajar dengan memberi tip dan lainnya. Makanya, tidak heran hingga saat ini kasus suap dan gratifikasi masih mendominasi berdasarkan jenis tindak korupsi yang ditangani KPK. Pihak swasta masih jadi pihak yang paling banyak menjadi pelaku tindak pidana korupsi.
Berdasarkan catatan KPK, hingga Triwulan I Tahun 2023, perkara korupsi masih didominasi oleh kasus suap dan gratifikasi sebesar 66 persen. Sementara itu, berdasarkan pelaku korupsi, masih didominasi oleh pihak swasta yaitu 383 orang serta anggota DPR dan DPRD sebanyak 344 orang.
Ghufron juga memaparkan tujuh jenis tindak pidana korupsi sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, yaitu kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, konflik kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Dia juga menyebutkan terkait penyalahgunaan jabatan atau penggelapan dalam jabatan.
"Pertama adalah menyalahgunakan uang termasuk hak dan kewajiban dari keuangan misalnya aset negara, fasilitas dan lainnya. Kedua, menyalahgunakan wewenang atau kekuasaan yang diberikan negara kepada aparatur untuk kepentingan publik, namun digunakan untuk kepentingan pribadi, seperti memperoleh keuntungan pribadi dengan menumpang kepentingan publik lewat mark up," jelasnya.
Di akhir paparannya, Ghufron mengingatkan peserta PPSA XXIV Lemhannas bahwa tujuan negara tidak akan pernah terwujud sepanjang korupsi masih ada di Indonesia. Menurut dia, pemberantasan korupsi harus terus dilakukan karena tujuan negara bisa gagal akibat korupsi.
"Saat kita menyadari diri kita sebagai aparatur negara, maka kita harus memiliki jiwa melindungi. Melindungi tujuan dan cita-cita bangsa dan negara kita. Di depan saya, para peserta eselon I dan bahkan para jenderal, sehingga saya yakin telah menempatkan diri sebagai bagian dari perekat bangsa," ujar Ghufron.