Islam dan Kearifan Lokal, Akulturasi yang Harmonis
Islam mampu beradaptasi dengan nilai-nilai lokal.
Oleh : Nashih Nasrullah, Redaktur Agama Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Islam di Indonesia memang kaya dengan warna yang memadukan antara ajaran Islam dan kearifan lokal. Deretan tradisi itu, menurut ungkapan Zainul Milal Bizawe, merupakan bentuk kemampuan Islam menganeksisasi budaya-budaya lokal tanpa mengubah penampakannya, lalu mengisinya dengan nilai-nilai keislaman hingga menjadi kebudayaan yang kaya dan beragam. (Bizawe: 2015).
Pun demikian dalam kasus akulturasi budaya Islam dan tradisi masyarakat Sulawesi, misalnya. Nilai-nilai Islam mampu menganeksasi tradisi lokal dan menjadikannya lebih bernilai transendental, dari sebelumnya yang memang kental dengan muatan animisme dan dinamisme.
Islamil Suhardi Wekke dalam Islam dan Adat: Tinjuan Akulturasi Budaya dan Agama dalam Masyarakat Bugis, mengatakan, di antara akulturasi budaya Islam yang masih dijalankan sampai sekarang ini adalah hukuman terhadap pelaku tindakan pelanggaran sosial yang secara adat dan agama dilarang keras dilakukan.
Misalnya, ketika salah satu di antara masyarakat melanggar aturan tersebut, pelakunya diberikan hukuman berupa pengusiran dari tanah Bugis seperti pelaku yang melakukan zina bagi pelaku yang belum menikah.
Lebih dari itu, pelaku yang melanggar norma adat dan budaya juga kadang dihukum secara sosial dengan diberikan status dipaoppangi tanah. Ini berarti secara harfiah ditutupi dengan tanah.
Secara konteks, bermakna dianggap mati sehingga dalam kehidupan sehari-hari tidak lagi diberikan ruang untuk berinteraksi dan tempat di masyarakat.
Sementara, bagi yang melanggar dengan status pelanggaran berat akan dihukum dengan dibuang ke laut seperti pelaku zina yang telah mempunyai pasangan.
Jika melanggar ketentuan siriq (malu), bisa saja hukuman mati. Apalagi, kalau mappakasiri (mempermalukan) seseorang, maka dapat saja dieksekusi mati.
Begitu ketat masyarakat Bugis di Sulawesi dalam menjaga norma adat dan norma agama. Untuk menjaga yang berkaitan dengan etika yang diatur dalam bentuk pamali (pantangan).
Apabila pantangan-pantangan dipatuhi, akan mendatangkan ketenangan dan kedamaian hati pelakunya. Sebaliknya ketika pantangan dilakukan, maka mungkin saja akan mendapatkan teguran atau akibat dari perbuatan itu.
Pelanggaran atas pamali ini bisa juga mendatangkan kecemasan, kekagetan, tidur yang tidak nyaman, atau perasaan selalu tersentak-sentak. Pantangan itu, seperti tidak boleh berbicara ketika makan, dilarang berada di ruang tamu ketika orang tua menerima tamu, atau tidak boleh duduk berimpitan di depan dapur.
Semua larangan itu akan berfungsi sebagai alat kontrol sekaligus alat pemaksa sebagai penjabaran dari kearifan yang terkandung dalam wejangan. Sekaligus akan mendatangkan keamanan dan ketenteraman.
Menurut Irwan Abdullah dan Azyumardi Azra dalam Islam dan Akomodasi Kultural, proses akomodasi kultural dapat dilihat pada kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan tradisi dan adat lokal serta pada kemampuannya untuk mempertahankan nilai-nilai pokok keislaman.
Dalam proses penyesuaian diri tersebut, tampak bahwa Islam tidak hanya melakukan penjinakan (domestikasi) terhadap dirinya sehingga lebur dalam tradisi dan adat lokal, tetapi juga mengeksploitasi sejauh mungkin unsur-unsur tradisi lokal yang dapat disesuaikan ke dalam keharusan nilai Islam yang ortodoks.
Dalam proses ini, para penyebar Islam memanfaatkan pranata lokal sebagai infrastruktur bagi pertumbuhan tradisi Islam. Proses Islamisasi dan akomodasi kultural berhubungan dengan tiga kondisi penting.
Pertama, proses Islamisasi dalam hubungannya dengan pembentukan kebudayaan Islam berhadapan dengan aneka warna kebudayaan lokal, tradisi, dan adat lokal. Interaksi Islam dengan sisitem nilai lokal ini pada gilirannya melahirkan berbagai bentuk respons dan reaksi. Kedua, Islam merupakan pendatang baru di dalam masyarakat di Kepulauan Indonesia.
Sebelum Islam masuk, telah ada sistem keyakinan, kepercayaan, keagamaan, atau setidaknya tradisi spiritualitas yang dianut komunitas lokal. Ketiga, Islam bukan merupakan satu-satunya sumber pengetahuan atau sistem nilai yang ada dalam masyarakat Indonesia. Karena selain kepercayaan lokal dan Hindu-Buddha, belakangan muncul pula pengaruh budaya Eropa (Barat) yang mulai berkembang dalam waktu bersamaan dengan kedatangan dan penjajahan bangsa Eropa di Asia Tenggara.
Namun, satu hal yang sekali lagi tak dapat dimungkiri, kemampuan Islam berdialog dengan budaya dan kearifan lokal merupakan salah satu alasan mengapa agama ini dapat diterima masyarakat Sulawesi ketika itu.
Bahkan, kembali menurut Zainul Milal Bizawe, dalam titik tertentu semakin menunjukkan universalitas Islam yang bisa berselaras dengan dinamika dan perubahan tempat dan zaman.