Anies-Muhaimin Vs Gangguan Kasus Korupsi dan Imbauan Menag Yaqut
Perjodohan Anies-Muhaimin telah merombak peta koalisi parpol menuju Pilpres 2024.
Oleh : Andri Saubani, Redaktur Polhukam Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Manuver Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang digawangi oleh Surya Paloh pekan lalu, memicu gempa politik saat kasak-kusuk mereka mengawinkan bakal calon presiden (capres) Anies Baswedan dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar sebagai calon wakil presiden (cawapres) dibongkar oleh elite Partai Demokrat, yang notabene adalah anggota Koalisi Perubahan dan Persatuan. Manuver tak terduga itu mengakibatkan harapan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai pasangan Anies di Pilpres 2024, pupus.
Demokrat merasa dikhianati oleh manuver tersebut dan dalam tempo singkat para elitenya kemudian menggelar rapat lalu memutuskan mencabut dukungan kepada Anies. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan sampai mengibaratkan Anies seperti ‘musang berbulu domba’ yang disebutnya berciri calon pemimpin yang tidak amanah. Di daerah-daerah, kader Demokrat serentak melucuti alat peraga sosialisasi bergambar Anies seperti spanduk, banner, hingga baliho.
Proses perjodohan Anies dan Muhaimin terbilang cepat dan singkat dalam waktu kurang lebih sepekan. Jika dirunut berdasarkan peristiwa politik terkait koalisi pilpres sepekan terkahir, semua sepertinya bermula dari pertemuan Tim 8 dari Koalisi Perubahan dan Persatuan bertemu dengan SBY di Cikeas pada 25 Agustus 2023. Lalu pada 28 Agustus 2023, Prabowo Subianto mengumumkan perubahan nama koalisinya dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) menjadi Koalisi Indonesia Maju setelah Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) merapat.
Muhaimin Iskandar, berdasarkan pernyataan-pernyataannya kepada media terkesan tidak puas atas konstelasi terbaru koalisinya bersama Prabowo. Sejak awal meneken piagam deklarasi KKIR, baik Muhaimin dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) diketahui mengincar kursi cawapres Prabowo menjadi jatah mereka. Bergabungnya Golkar dan PAN ke koalisi pendukung Prabowo kemudian memunculkan spekulasi Muhaimin akan hengkang dan mencari perahu koalisi baru yang kemudian terbukti benar.
Di tengah upaya konsolidasi Demokrat menyusul hasil pertemuan antara Tim 8 dan SBY yang diduga berujung deadlock soal siapa yang menjadi cawapres Anies, pada 29 Agustus, Surya Paloh menetapkan Muhaimin Iskandar sebagai cawapres dan meminta Anies untuk mematuhi keputusannya itu. Sehari kemudian, Anies mengutus juru bicaranya, Sudirman Said untuk menyampaikan keputusan bahwa dirinya telah dipasangkan dengan Muhaimin kepada anggota Koalisi Perubahan dan Persatuan.
Pada Kamis sore, 31 Agustus, Surya Paloh sowan ke Istana menemui Jokowi dan kepada wartawan ia tak mengiyakan atau membantah membicarakan soal perjodohan Anies-Muhaimin kepada sang presiden. Kamis malamnya, Sekjen Demokrat Teuku Reifky Harsya menyebar rilis kepada media menginformasikan keputusan 'pengkhianatan' Anies yang telah memilih Muhaimin sebagai cawapresnya.
Pada Jumat, 1 September 2023, DPP PKB merespons wacana duet Anies-Muhaimin dengan menggelar rapat pleno di Jakarta dan memutuskan menerima. Keputusan DPP PKB kemudian dibawa ke level rapat besar di Surabaya, Jawa Timur dan dilanjutkan dengan deklarasi pasangan capres-cawapres, Anies-Muhaimin di Hotel Yamato, Surabaya pada Sabtu, 2 September 2023. Di Hotel Yamato, hanya Nasdem dan PKB yang mendeklarasikan Anies-Muhaimin, sementara elite PKS urung hadir namun elitenya di Jakarta tetap menegaskan mendukung Anies sebagai capres 2024.
Pasangan Anies dan Muhaimin menjadi yang pertama dideklarasikan saat bakal capres lain yakni Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto masih berproses mencari pasangan yang cocok. Namun, meski menjadi yang pertama dideklarasikan, Anies-Muhaimin belum bisa dipastikan sebagai pasangan capres-cawapres 2024 sebelum keduanya nanti didaftarkan dan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Tak lama setelah dideklarasikan, pasangan Anies-Muhaimin langsung diganggu dua isu (kalau belum bisa dibilang masalah) yang datang secara simultan. Dua isu itu adalah kasus dugaan korupsi yang sedang digarap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan imbauan dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
KPK pekan ini berencana memeriksa Muhaimin sebagai saksi dugaan rasuah pengadaan sistem proteksi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) pada 2012. Korupsi di kasus ini diduga terjadi saat Muhaimin menjadi sebagai Menakertrans pada zaman pemerintahan SBY dan telah menelurkan tiga tersangka.
Mengapa Muhaimin baru diperiksa sekarang setelah kasus berlalu lebih dari 10 tahun? Mengapa pemanggilan Muhaimin dilaksanakan tak lama setelah ia dideklarasikan sebagai cawapres Anies? Pertanyaan-pertanyaan itu sudah dijawab secara diplomatis dan normatif oleh petinggi KPK, meski sebagian publik menaruh curiga adanya politisasi kasus menjelang pilpres.
Isu yang kedua adalah, imbauan Menag RI Yaqut Cholil Qoumas kepada masyarakat agar tidak memilih pemimpin yang memecah belah umat dan menggunakan agama sebagai alat politik. Yaqut menyampaikan hal tersebut di Garut, Jawa Barat, pada Ahad (3/9/2023) saat menghadiri Tablig Akbar Idul Khotmi Nasional Thoriqoh Tijaniyah ke-231 di Pondok Pesantren Az-Zawiyah, Tanjung Anom, Garut.
Menurut Yaqut, harus dicek betul. Pernah atau tidak calon pemimpin kita, calon presiden kita ini, memecah belah umat. Kalau pernah, Yaqut menegaskan, calon pemimpin itu jangan dipilih.
Yaqut juga meminta masyarakat tidak memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Ia menegaskan, agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh umat, seluruh masyarakat, seluruh golongan.
Sulit rasanya untuk tidak menduga-duga bahwa imbauan Menag Yaqut di atas tidak menyasar pada salah satu capres. Momentum keluarnya imbauan Menag pun pas dengan deklarasi pasangan Anies-Muhaimin.
Tidak bisa dipungkiri, Anies selama ini menjadi tokoh yang lekat dengan citra politik identitas merujuk pada sejarah Pilkada DKI Jakarta pada 2017 saat ia bertarung melawan incumbent Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Saat itu, Anies diyakini bisa menjadi gubernur DKI Jakarta setelah mendapatkan dukungan dari kelompok Islam garis keras.
Reuters saat wawancara eksklusif mereka dengan Anies di Singapura pada September 2022, menyebut Anies, yang menganut Islam moderat, terlihat tidak berbuat banyak untuk memperbaiki keretakan kalangan agama dan masyarakat umum yang melebar di negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia. Namun, dalam wawancara itu Anies merespons, bahwa kebijakan-kebijakannya sebagai gubernur telah 'menyatukan warga Jakarta'.
"Sebelum, orang-orang membuat asumsi terhadap saya dan apa yang saya pegang teguh dan lakukan sebagai gubernur. Sekarang saya telah menjabat lima tahun (sebagai gubernur), jadi nilailah saya berdasarkan realitas dan rekam jejak," kata Anies.