Kronologi Bentrokan Massa dengan Aparat di Kepulauan Riau Versi Polisi

Polisi menyebut warga membekali diri dengan ketapel, batu, sajam, hingga bom molotov.

Antara/Zainuddin MN
Bentrokan warga (ilustrasi)
Rep: Ali Mansur Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bentrokan antara warga dengan aparat terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, pada Kamis (7/9/2023). Bentrokan itu terjadi setelah petugas hendak melakukan pengukuran lahan di kampung adat demi kepentingan proyek strategis nasional.

Pihak kepolisian menuding sekelompok massa melakukan sweeping terhadap warga maupun petugas yang hendak melakukan pengukuran lahan.

Baca Juga



"Sekelompok masyarakat ini menghambat arus lalu lintas dan jalan warga masyarakat yang akan beraktivitas wilayah tersebut. Pokoknya yang bukan dari warga sana (di-sweeping) apalagi terhadap petugas, aparat negara, dan sebagainya," ujar Kabidhumas Polda Kepri, Kombes Zahwani Pandra Arsyad, saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (7/9/2023).

Menurut Zahwani, pada saat melakukan sweeping mereka membekali diri dengan ketapel, batu, senjata tajam hingga bom molotov. Dari pihak kepolisian sendiri, kata dia, tidak ada yang menggunakan senjata api maupun senjata tajam. Kata dia, apa yang dilakukan pihaknya dalam rangka preventif.

"Upaya melumpuhkan tapi (dengan) semprotan water canon dan gas mata," ujar Zahwani.

Asap gas air mata mengarah ke sekolah..

Dalam bentrokan itu, Zahwani membantah ada anak sekolah yang luka parah akibat asap dari gas air mata. Bahkan, kata dia, pihaknya tidak mengarahkan tembakan gas air mata ke sekolahan yang sedang ada kegiatan belajar mengajar.

Hanya saja memang lokasi massa yang melakukan perlawanan atau menyerang aparat tersebut bertahan di sekitar sekolahan. "Gas air mata itu kenapa sampai mengarah ke anak sekolah karena lokasi mereka berdiam atau dalam mempertahankan lingkungannya itu sebelahan dengan sekolah. Angin cukup kencang mengakibatkan arah semprotan tes air mata ke salah satu sekolah yang tengah ada kegiatan belajar mengajar," tegas Zahwani.

Sehingga dengan demikian, Zahwani, membantah adanya informasi bahwa aparat mengejar dan sebagainya ke arah sekolah. Karena itu, ia menghimbau kepada seluruh masyarakat jangan sampai mengunggah berita bohong terkait peristiwa tersebut. Bahkan dia juga membantah jika ada warga yang meninggal dunia dalam insiden tersebut.

"Semua kondisi anak-anak sekolah 11 orang itu dalam keadaan sehat. Saat ini masih di rumah sakit sudah dilakukan pemulihan tidak sampai fatal," tutur Zahwani.

Dalam kasus ini, sebagian masyarakat adat menolak direlokasi untuk proyek strategis nasional karena khawatir kehilangan ruang hidupnya. Sementara, pemerintah dan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) mengeklaim proyek ini demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

Relokasi sudah disiapkan...

Menurut Zahwani, BP Batam selaku pengelola kawasan telah melakukan sosialisasi, mulai dari musyawarah, mempersiapkan relokasi. Termasuk melakukan ganti rugi terhadap masyarakat yang telah menggunakan lahan. Bahkan sosialisasi tersebut dilakukan jauh-jauh hari dan dilakukan dengan cara pintu ke pintu.

"Semua mereka yang akan direlokasi itu akan diberikan tanah seluas 500 m² Kemudian dikasih rumah tipe 45 dan dibebaskan dari hak membayar PBB atau uang wajib tahunan," ujarnya.

Kemudian untuk masyarakat yang bermukim di sekitar pesisir akan diberikan kapal secara cuma-cuma. Bahkan kapal tersebut dapat dijadikan sertifikat dan dapat diagunkan. Bahkan sebenarnya, kata dia, beberapa waktu lalu sudah ada sekelompok masyarakat baik perorangan maupun badan usaha yang menyerahkan secara suka rela tanah dan lahan mereka.

"Jadi ini jangan sampai nanti dicampur adukan bahwa kita melakukan intimidasi. Tidak sama sekali. Kita melakukan menciptakan bagaimana harmonisasi menciptakan kondisi kondusif," ujar Zahwani.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler