30 Tahun Perjanjian Oslo, Prospek Perdamaian Israel-Palestina Masih Suram
Menurut PBB sekitar 700 ribu pemukim Yahudi menetap di Tepi Barat dan Yerusalem Timur
REPUBLIKA.CO.ID, JERUSALEM - Seberang wilayah pendudukan Tepi Barat, pos pemeriksaan beton, tembok pemisah, dan tentara terlihat jelas. Pemandangan itu menjadi pengingat akan kegagalan membangun perdamaian antara Israel dan Palestina sejak Perjanjian Oslo yang bersejarah ditandatangani 30 tahun lalu.
Perjanjian itu awalnya dimaksudkan sebagai langkah sementara untuk membangun kepercayaan dan menciptakan ruang bagi perjanjian perdamaian permanen. Namun, upaya ini telah lama membeku menjadi sebuah sistem untuk mengelola konflik tanpa terlihat adanya akhir.
Ketika Tepi Barat berada dalam kekacauan, pemerintahan nasionalis di Israel yang menolak segala prospek pembentukan negara Palestina. “Kita berada di akhir sebuah era baik di Palestina maupun Israel dan mungkin di kawasan secara keseluruhan,” kata Hanan Ashrawi, seorang aktivis sipil dan mantan juru bicara delegasi Palestina untuk proses perdamaian pada 1990-an.
“Seluruh generasi, era pembicaraan tentang saling pengakuan, dua negara, negosiasi penyelesaian, resolusi damai akan segera berakhir di Palestina,” katanya.
Hanya sedikit pihak yang percaya bahwa ada prospek realistis dari solusi dua negara, Palestina merdeka dan berdiri berdampingan dengan Israel. Ide tersebut, menurut Ashrawi, kini hanya sekedar “fiksi”.
Dengan adanya hambatan yang memisahkan kedua belah pihak di Tepi Barat, generasi muda Israel dan Palestina tumbuh dengan sedikit pengetahuan satu sama lain sejak perjanjian pertama ditandatangani pada 13 September 1993. “Oslo dan saya lahir pada tahun yang sama,” kata Mohannad Qafesha, seorang aktivis hukum di kota Hebron di selatan.
"Bagi saya, saya lahir dan ada pos pemeriksaan di sekitar saya, di sekitar rumah kami, jika saya meninggalkan rumah dan pergi ke kota untuk mengunjungi teman-teman saya, saya harus melewati pos pemeriksaan tersebut," ujarnya.
Menurut angka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sekitar 700 ribu pemukim Yahudi kini menetap di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, yang merupakan inti negara Palestina di masa depan. Pembangunan pemukiman pun berkembang pesat. Diperkirakan 3,2 juta warga Palestina tinggal di Tepi Barat dan 2,2 juta di Gaza.
Kekerasan selama 18 bulan terakhir telah menyebabkan puluhan warga Israel, termasuk warga sipil dan tentara, meninggal dalam serangan yang dilakukan oleh warga Palestina di Tepi Barat dan Israel. Sedangkan serangan kurang ajar yang dilakukan oleh pemukim Yahudi di kota-kota dan desa-desa Palestina, ditambah tindakan keras oleh petugas.
Pasukan Israel telah menewaskan ratusan...
Serangan yang hampir terjadi setiap hari oleh pasukan Israel telah menewaskan ratusan anggota kelompok Palestina dan sejumlah warga sipil. Sementara sejumlah kelompok militan baru bermunculan di kota-kota seperti Jenin dan Nablus yang tidak memiliki hubungan dengan generasi tua para pemimpin Palestina.
“Saya belum pernah melihat Tepi Barat seperti saat ini, saya telah masuk dan keluar dari sini selama hampir 30 tahun dan saya belum pernah melihat hal yang lebih buruk,” kata Koordinator Khusus PBB Tor Wennesland pada konferensi minggu ini.
Struktur yang diciptakan oleh Perjanjian Oslo tetap menjadi kerangka utama hubungan antara Israel dan Palestina jika tidak ada yang lebih baik. Otoritas Palestina (PA) tetap menjadi mitra yang disukai Israel, meski sering kali tidak dipercaya, meskipun mereka kehilangan kendali atas Gaza ketika Hamas memisahkan diri pada 2007.
Tapi, karena bergantung pada dana asing, tanpa mandat pemilu dan tidak populer di kalangan rakyatnya sendiri, PA terjebak dalam peran-perannya sebagai perwakilan Palestina dan lawan bicara Israel. Begitu Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang berusia 87 tahun lengser, akan ada kekosongan yang mungkin akan membawa krisis ke puncaknya.
Para pejabat Israel juga khawatir jika Abbas mengundurkan diri, maka pintu akan terbuka bagi dorongan Hamas ke Tepi Barat, tempat Hamas semakin aktif. Bisa juga kondisi anarki muncul ketika para pesaing kepemimpinan saling bertarung.
“Ini sangat lemah, sangat buruk tetapi perjanjian ini masih ada,” kata mantan pejabat badan militer Israel yang dibentuk setelah Oslo untuk berkoordinasi antara Israel dan PA (COGAT) Michael Milshtein.
Penandatanganan perjanjian Oslo sebenarnya menimbulkan optimisme dalam waktu singkat. Momen itu dilambangkan dengan gambar pemimpin Palestina Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, diawasi oleh Presiden AS Bill Clinton, berjabat tangan di halaman Gedung Putih. Rabin dibunuh oleh seorang sayap kanan Israel pada 1995, sementara Arafat meninggal pada 2004.
Bagi mantan menteri kehakiman dan negosiator Israel Yossi Beilin kegagalan perjanjian tersebut terjadi karena pemerintahan Israel berturut-turut lebih memilih untuk mengubah gencatan senjata yang awalnya bersifat sementara menjadi status quo permanen. Terlebih lagi masyarakat Israel terpecah oleh perselisihan mengenai upaya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk mengekang kekuasaan Mahkamah Agung, prospek upaya perdamaian tampaknya semakin kecil.
“Pemerintahan Israel saat ini tidak menunjukkan tanda-tanda kesediaan untuk mencapai perjanjian permanen. Jadi, mereka yang berbicara tentang perjanjian permanen harus berbicara tentang pemerintahan di masa depan,” kata mantan politisi Partai Buruh itu.
Warga Palestina dan sejumlah organisasi hak asasi manusia internasional sudah menuduh Israel mengoperasikan sistem apartheid di Tepi Barat. Israel dan sekutu-sekutunya termasuk Amerika Serikat menolak tuduhan tersebut.