43 Persen Guru Jadi Korban Pinjol, Perlunya Literasi Keuangan Guru
Pinjol menjadi momok guru akibat kesejahteraan rendah
Oleh: Faozan Amar, Dosen FEB UHAMKA dan Direktur Eksekutif Al Wasath Institute
Jaman SMA dulu, guru fisika menjadi menjelaskan teori tentang tekanan dan gaya, yakni ; “Tekanan sebanding dengan gaya”, atau P = F/A ; tekanan adalah gaya dibagi luas. Artinya, rumus tersebut menjelaskan bahwa jika gaya besar sedangkan luasnya besar, maka tekanan menjadi kecil. Sebaliknya, jika gayanya besar dan luasnya juga kecil, maka tekanan menjadi lebih kecil. Oleh karena itu, seberapa besar tekanan akan bergantung dari gaya, dan luas bidang yang ditekan.
Rumus tersebut, ternyata sangat relevan dan kontekstual dalam kehidupan manusia. Dimana banyak manusia yang tidak kuat menjalani tekanan hidup akibat terlalu banyak gaya hidup yang berlebihan. Sehingga menyebabkan ketidakseimbangan dan kegagalan dalam kehidupannya. Tak terkecuali hal tersebut dialami oleh para guru yang merupakan salah satu pilar penting dalam dunia pendidikan.
Sehingga banyak guru yang masih belum sejahtera, bukan hanya karena masih rendahnya gaji guru, tetapi juga karena “gaya hidup” yang tidak sesuai dengan jumlah pendapatan yang diperolehnya. Sehingga profesi guru dianggap belum menjanjikan masa depan yang cerah karena belum dapat menjamin kesejahteraan yang baik.
Maka sangatlah beralasan, jika profesi guru tak lagi menarik menjadi cita-cita anak-anak muda cerdas, hebat, dan potensial. Gaji guru honorer yang bekerja di sekolah negeri milik pemerintah dan guru tidak tetap yang bertugas di sekolah milik swasta lebih variatif dengan disparitas yang tinggi dan tidak ada standar upah minimum yang jelas.
Disparitas kesejahteraan guru terlalu besar antara guru-guru yang mengajar di sekolah swasta kecil dan yang bonafide. Guru dengan pendidikan sarjana stratan satu (S-1) mendapatkan upah jauh lebih rendah dibandingkan dengan lulusan SMA yang bekerja sebagai kasir toko ritel swalayan. Rendahnya upah menyebabkan banyak guru belum merdeka secara finansial. Praktik gali lubang tutup lubang kerap dilakukan untuk memenuhi kebutuhan finansialnya.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), guru menjadi profesi yang kerap terjerat pinjaman daring ilegal. Berdasarkan riset No Limit Indonesia yang dikutip OJK, 43 persen korban pinjaman seperti ini berprofesi sebagai guru. Sungguh memprihatinkan.
Guru yang harusnya memiliki literasi finansial yang tinggi tak berdaya menghadapi kebutuhan hidup yang terus tinggi, sementara penghasilannya tidak memadai. Akibatnya, pinjaman daring (pinjaman online) ilegal sebagai jalan pintas yang justru semakin menjerat para guru semakin dalam ke lubang kesulitan.
Disamping itu, rendahnya kesejahteraan guru juga menyebabkan integritas semakin terkikis. Belum lama ini publik dihebohkan dengan masalah tak terbayarkannya uang tabungan siswa di dua kecamatan di Pangandaran, Jawa Barat, sebanyak Rp 7,47 miliar. Dari jumlah itu, sekitar Rp 1,5 miliar dipinjam guru sehingga kasusnya mencuat ke publik dan ditangani inspektorat setempat (Kompas.com, 28/6/2023).
Dari kedua contoh kasus tersebut, dapat diambil benang merah bahwa rendahnya kesejahteraan dan masih lemahnya literasi keuangan para guru masih menjadi permasalahan klasik yang membutuhkan resep jitu dari para pengambil kebijakan untuk mengatasinya. Sebab, sekalipun pendapatan guru meningkat tetapi literasi keuangan rendah, maka berdampak pada kurangnya kesejahteraan guru. Begitupun juga sebaliknya.
Pemerintah ingin guru semakin menunjukkan profesionalitasnya lewat program sejuta guru dengan mengubah status guru honores menjadi guru ASN PPPK. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mengatakan, guru profesional dengan kompetensi unggul menjadi kunci terlaksananya pendidikan berkualitas. Ketersediaan dan penjaminan kesejahteraan guru profesional merupakan tugas pemerintah.
Berbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru terus dilakukan. Selama beberapa tahun terakhir, pemerintah telah menyusun berbagai program untuk dapat memberikan peningkatan pada kesejahteraan guru, diantaranya yakni :
Pertama, Program Peningkatan Kompetensi. Salah satu kompetensi yang wajib diikuti yakni pelatihan kompetensi digital baik diselenggarakan oleh lembaga internal maupun pemerintah. Pelatihan tersebut bertujuan agar para guru dapat lebih melek dengan teknologi khususnya yang berhubungan dengan penyampaian konten pembelajaran.
Kedua, menambah Kuota PPG (Pendidikan Profesi Guru) yang dapat diikuti melalui seleksi resmi pemerintah. Program tersebut merupakan program sertifikasi guru. Tujuannya untuk memberikan peningkatan di bidang kemampuan khususnya paedagogik serta aspek profesionalitas lainnya yang berkaitan dengan dunia pendidikan.
Ketiga, memberikan Tunjangan Profesi Guru (TPG). Pemerintah juga telah menyiapkan program berupa pemberian TPG dengan beberapa persyaratan tertentu. Program ini belum berjalan secara merata untuk seluruh guru di Indonesia karena memang diperuntukkan bagi pendidik terpilih. Selain karena prestasi yang sudah dikontribusikan, pun juga karena loyalitasnya yang tinggi terhadap dunia pendidikan.
Keempat, menyusun Program Madrasah Reform (MEQR). Program yang dicanangkan pemerintah untuk meningkatkan kompetensi pun berlaku bagi pendidik yang berada di bawah naungan Kementerian Agama yakni para guru yang mengajar di Madrasah. Pemerintah di beberapa daerah sudah mulai sepakat dan berkomitmen untuk semakin bijak dalam menerapkan program MEQR agar guru madrasah juga merasakan kesejahteraan.
Kelima, seleksi penerimaan guru Aparatur Sipil Negara (ASN) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) untuk mengakomodir guru hononer yang usianya sudah lewat 35 tahun dan tidak bisa mengikuti seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
Namun, upaya untuk meningkatkan pendapatan tersebut harus diimbangi dengan menekan gaya hidup dari para guru tersebut. Karena itu, literasi keuangan yang harus difahami para guru adalah bahwa diantara kunci untuk mewujudkan hidup sejahtera ; 1). Meningkatkan pendapatan, yakni dengan bekerja, misalnya sebagai sebagai guru dan usaha, misalnya jualan, sehingga mendapatkan penghasilan. 2). Menekan pengeluran, yakni dengan bantuan sosial yang diberikan Pemerintah melalui program perlindungan sosial, 3). Guru harus mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Jika hal tersebut dapat dilakukan, insha Allah kesejahteraan guru dapat terwujud. Wallahu’alam.