Kisah Relawan Pemadam Kebakaran yang Terjebak pada Kobaran Api di Kawasan Gunung Bromo
Untuk memadamkan api, para relawan harus mengikuti arah angin.
REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Ada banyak cerita di balik terjadinya kebakaran di kawasan wisata Gunung Bromo. Salah satu cerita hadir dari Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA) Ngadas, Sampetono saat dia dan timnya berusaha memadamkan api di kawasan tersebut.
Sebelum memadamkan api yang disebabkan rombongan prewedding, Sampetono dan tim sudah memiliki pengalaman serupa. Pada 28 Agustus pukul 22.00 WIB misalnya, dia menemukan adanya titik api di kawasan wisata Gunung Bromo.
"Karena sudah malam, keadaan tanah itu hampir 80 derajat kemiringan. Akhirnya dengan situasi di dana dan medan sangat sulit dan kami pakai alat seadanya, kami lanjutkan pemadaman api sampai tanggal 2 September 2023," kata Sampetono saat ditemui wartawan di Cemorolawang, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo.
Setelah itu, titik api tersebut berhasil padam. Itu artinya Sampetono dan tim sudah bisa agak santai menjalani aktivitasnya.
Kemudian tiba-tiba pada 6 September diketahui terdapat tamu yang menyalakan flare di kawasan Bukit Teletubbies. Aksi yang menyebabkan kebakaran hebat itu pun membuat MPA Ngadas turut membantu. Namun sesampai di lokasi, MPA Ngadas sudah tidak mampu lagi memadamkannya.
Hingga pukul 03.30 WIB, para relawan setidaknya berhasil memadamkan api di area barat dari titik nol kebakaran. Di sisi lain, terdapat titik api yang belum mampu dipadamkan justru terus merambat ke area perbukitan. Dia dan tim serta para relawan lainnya tetap berusaha untuk menyekat api sampai 9 September.
Karena medan yang terjal, Sampetono hanya mampu menggunakan gebyok untuk memadamkan api. Meksipun demikian, dia memastikan aksi tersebut turut dibantu oleh masyarakat Jetak dan Grinting sekitar 40 orang. Puluhan orang tersebut dibagi menjadi tiga tim, yakni untuk pemadaman wilayah Lembah Watangan, Pusung Tumpeng dan Bukit Pentongan.
Dengan adanya kebakaran yang semakin membesar, dia dan relawan lainnya terpaksa ditarik mundur. Hal ini dilakukan karena kondisinya tidak memungkinkan untuk memadamkan karena ketinggian api sudah mencapai tiga sampai empat meter. "Itu karena bahan bakar (pohon dan semak) karena di situ itu tiga sampai empat tahun tidak terbakar," ucapnya.
Untuk memadamkan api, para relawan harus mengikuti arah angin. Kemudian juga hanya menggunakan alat manual berupa gebyok dan ranting.
Para relawan juga harus melihat situasi apabila hendak memadamkan api. Jika bahan bakarnya terlalu tebal, maka para relawan terpaksa harus membiarkannya. Jika api dan asap sudah menipis, barulah tim relawan melakukan penyekatan.
Di sisi lain, Sampetono juga masih teringat betul bagaimana lima relawan yang dipimpinnya harus terjebak di antara kobaran api. Kelima orang tersebut tidak dapat dihubungi selama tiga jam. Situasi ini sempat membuat dia panik dan khawatir.
"Jadi saat pemadaman api itu 19 orang kami ajak memadamkan di lereng Bukit Watangan. Lima orang itu masih di atas sehingga seharusnya total ada 24 orang yang harus ke bawah jadi satu. Setelah tiga jam baru ketemu di Pos Jemplang. Mereka akhirnya menemukan jalur," jelasnya.
Menurut Sampetono, hal pertama yang harus diselamatkan saat memadamkan api adalah nyawa sendiri lalu baru hutan. Tidak bisa pihaknya dipaksakan untuk memadamkan api dalam keadaan yang mengerikan. Relawan harus tetap memikirkan nyawa sendiri di atas segalanya.
Berdasarkan pengalaman ini, Sampetono pun mengungkapkan bahwa relawan pada dasarnya belum dapat pulang apabila api belum padam. Terlebih apabila dibutuhkan logistik untuk membantu pemadaman api. Itu artinya mereka harus 24 jam bersiaga di lapangan dalam memantau kebakaran api di kawasan wisata Gunung Bromo.