Prancis Tarik Dubes dan Pasukan Militer dari Niger

Kecaman anti-Prancis telah berkembang di kawasan Afrika Barat beberapa tahun terakhir

AP
Prancis mengutuk kekerasan terhadap misi diplomatiknya di Niger dan berjanji bertindak keras pada setiap serangan
Rep: Dwina Agustin Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan, Prancis akan menarik duta besarnya dan mengakhiri semua kerja sama militer dengan Niger setelah kudeta. Dia menegaskan, pasukan Prancis akan berangkat dari Niger dalam beberapa bulan mendatang.

Baca Juga


"Prancis telah memutuskan untuk menarik duta besarnya. Dalam beberapa jam ke depan duta besar kami dan beberapa diplomat akan kembali ke Prancis," kata Macron dikutip dari BBC.

Macron menegaskan, Perancis tidak akan disandera oleh para pelaku kudeta, ketika berbicara kepada stasiun televisi Prancis TF1 dan France 2. Dia masih menganggap Presiden Niger yang digulingkan Mohamed Bazoum yang saat ini ditahan oleh para pemimpin kudeta sebagai satu-satunya otoritas yang sah di Niger.

Presiden Prancis pun mengaku telah memberitahukan keputusannya kepada Bazoum. Dia menggambarkan presiden yang digulingkan itu sebagai sandera.

“Dia menjadi sasaran kudeta ini karena dia melakukan reformasi yang berani dan karena sebagian besar terjadi perselisihan antar etnis dan banyak kepengecutan politik,” kata Macron.

Junta militer yang merebut kekuasaan di Niger menyambut baik langkah penarikan Prancis. “Pekan ini kami merayakan langkah baru menuju kedaulatan Niger,” kata junta yang merebut pemerintah pada Juli 2023.

Ada sekitar 1.500 tentara Perancis di negara Afrika Barat yang terkurung daratan itu. Keputusan Paris ini diambil setelah berbulan-bulan terjadi permusuhan dan protes terhadap kehadirannya di negara tersebut, dengan demonstrasi rutin di ibu kota Niamey.

Langkah ini memberikan pukulan telak terhadap operasi Perancis melawan ekstremis di wilayah Sahel dan memudarnya pengaruh negara Eropa itu di wilayah itu. Niger adalah salah satu dari beberapa bekas jajahan Perancis di Afrika Barat yang baru-baru ini diambil alih oleh militer, setelah Burkina Faso, Guinea, Mali dan Chad. Kudeta terakhir terjadi di Gabon pada Agustus.

Kecaman anti-Prancis telah berkembang di kawasan ini dalam beberapa tahun terakhir. Banyak politisi lokal yang menuduh Paris menerapkan kebijakan neokolonialis dan tuduhan itu telah dibantah.

Komunitas Ekonomi regional Negara-negara Afrika Barat (Ecowas) yang didukung oleh Perancis telah mengancam akan melakukan intervensi militer di Niger untuk mengembalikan jabatan Bazoum. Namun sejauh ini pihaknya belum bertindak.

Para pemimpin militer Niger mengatakan kepada duta besar Perancis Sylvain Itte bahwa dia harus meninggalkan negara itu setelah menggulingkan Bazoum pada tanggal 26 Juli. Namun, ultimatum 48 jam agar dia mundur masih berlaku karena pemerintah Prancis menolak untuk mematuhinya atau mengakui rezim militer sebagai rezim yang sah.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler