Setengah Penduduk Nagorno-Karabakh Mengungsi Sejak Azerbaijan Melancarkan Serangan

Azerbaijan merebut Nagorno-Karabakh dari Armenia dalam serangan kilat pekan lalu.

EPA-EFE/NAREK ALEKSANYAN
Warga etnis Armenia dari Nagorno-Karabakh tiba di pusat pendaftaran Kementerian Luar Negeri Armenia, dekat kota perbatasan Kornidzor, Armenia. Setengah pendudukan Nagorno-Karabakh telah mengungsi.
Rep: Dwina Agustin Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, YEREVAN -- Pemerintahan separatis Nagorno-Karabakh mengatakan pada Kamis (28/9/2023), akan membubarkan diri dan republik yang tidak diakui itu akan lenyap pada akhir tahun, setelah upaya kemerdekaan selama hampir tiga dekade. Sementara para pejabat Armenia mengatakan, lebih dari separuh penduduk di kawasan itu sudah mengungsi.

Baca Juga


Langkah tersebut dilakukan setelah Azerbaijan melancarkan serangan kilat pekan lalu. Mereka merebut kembali kendali penuh atas wilayah tersebut dan menuntut agar pasukan Armenia di Nagorno-Karabakh dilucuti dan pemerintah separatis membubarkan diri.

Sebuah dekrit ditandatangani oleh pemimpin separatis di wilayah tersebut Samvel Shakhramanyan mengutip kesepakatan yang dicapai pada 20 September. Pernyataan ini mengakhiri pertempuran dengan Azerbaijan akan mengizinkan“pergerakan bebas, sukarela, dan tanpa hambatan dari penduduk Nagorno-Karabakh ke Armenia.

Hal ini memicu eksodus massal etnis Armenia dari wilayah pegunungan di Azerbaijan pada pekan ini. Pada Kamis (28/9/2023) pagi, lebih dari 66 ribu orang atau lebih dari separuh populasi Nagorno-Karabakh yang berjumlah 120 ribu orang telah melarikan diri ke Armenia. Gelombang pengungsi tersebut terus berlanjut dengan intensitas yang tidak berkurang.

Pertempuran separatis berakhir pada 1994 setelah runtuhnya Uni Soviet, Nagorno-Karabakh berada di bawah kendali pasukan etnis Armenia yang didukung oleh pemerintah Armenia. Kemudian, selama perang enam minggu pada 2020, Azerbaijan merebut kembali sebagian wilayah di Pegunungan Kaukasus selatan beserta wilayah sekitarnya yang telah diklaim sebelumnya oleh pasukan Armenia.

Sedangkan Nagorno-Karabakh diakui secara internasional sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Azerbaijan. Pada Desember tahun lalu, Azerbaijan memberlakukan blokade terhadap satu-satunya jalan yang menghubungkan Nagorno-Karabakh dengan Armenia.

Tindakan itu dilakukan dengan tuduhan bahwa pemerintah Armenia menggunakan jalan tersebut untuk ekstraksi mineral. Yerevan diduga melakukan pengiriman senjata terlarang ke pasukan separatis di wilayah tersebut.

Armenia menuduh penutupan tersebut menghalangi pasokan makanan pokok dan bahan bakar ke Nagorno-Karabakh. Azerbaijan menolak tuduhan tersebut dengan alasan wilayah tersebut dapat menerima pasokan melalui kota Aghdam di Azerbaijan.

Pengiriman yang dilakukan Azerbaijan telah lama ditentang oleh otoritas Nagorno-Karabakh, yang menyebutnya sebagai strategi bagi Azerbaijan untuk menguasai wilayah tersebut.

Dilemahkan oleh blokade tersebut dan kepemimpinan pemerintah Armenia menjauhkan diri dari konflik tersebut, pasukan etnis Armenia di wilayah tersebut setuju untuk meletakkan senjata kurang dari 24 jam setelah Azerbaijan memulai serangannya pekan lalu. Pembicaraan telah dimulai antara Baku dan otoritas separatis Nagorno-Karabakh mengenai integrasi kembali wilayah tersebut.

Pihak berwenang Azerbaijan berjanji menghormati hak-hak etnis Armenia di wilayah tersebut dan memulihkan pasokan. Namun, banyak penduduk yang memutuskan untuk berangkat ke Armenia karena takut akan pembalasan. Satu-satunya jalan yang menghubungkan Nagorno-Karabakh ke Armenia dengan cepat dipenuhi mobil, sehingga menimbulkan kemacetan besar di jalan pegunungan yang berkelok-kelok.

Sejauh ini belum ada laporan mengenai warga yang membakar rumah sebelum pergi. Peristiwa ini terjadi pada 2020 ketika orang-orang meninggalkan wilayah yang diambil alih oleh Azerbaijan.

Belum jelas kabar apakah masih tersisa etnis Armenia yang masih tinggal di wilayah tersebut. Keputusan Shakhramanyan mendesak penduduk Nagorno-Karabakh untuk membiasakan diri dengan kondisi reintegrasi yang ditawarkan oleh Azerbaijan.

Pihak berwenang Azerbaijan mendakwa mantan kepala pemerintahan separatis Nagorno-Karabakh Ruben Vardanyan. Dia dituduh telah mendanai terorisme, membentuk formasi bersenjata ilegal, dan melintasi perbatasan negara secara ilegal.

Bankir miliarder itu ditangkap pada Rabu (27/9/2023). Menurut kantor berita resmi pemerintah Rusia RIA Novosti, dia akan menghadapi hukuman hingga 14 tahun penjara jika terbukti bersalah.

Pejabat Azerbaijan mengatakan Vardanyan ditahan ketika dia mencoba memasuki Armenia dari Nagorno-Karabakh bersama ribuan orang lainnya dan dibawa ke Baku. Penangkapan tersebut tampaknya menunjukkan niat Azerbaijan untuk segera menegakkan cengkeramannya di wilayah tersebut.

Vardanyan pindah ke Nagorno-Karabakh pada 2022 dan memimpin pemerintahan daerah selama beberapa bulan sebelum mengundurkan diri awal tahun ini. 

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler