G30S PKI, Pesantren dan Kiai Jadi Sasaran Pembantaian PKI
Kiai yang mengajarkan agama dan cinta Tanah Air dianggap menghambat agenda PKI.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Komunis Indonesia (PKI) menyadari pesantren merupakan kekuatan strategis dalam mempertahankan NKRI. Terbukti sewaktu perang 10 November digerakkan secara serentak oleh komunitas pesantren setelah mendengar seruan Resolusi Jihad yang dikeluarkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 22 Oktober 1945.
Heroisme kaum santri itu berhasil mengusir tentara sekutu dari Surabaya. Tujuan PKI, selain melumpuhkan TNI dan polisi, selanjutnya pesantren dan para ulamanya juga harus dilumpuhkan. Untuk menghadapi kekuatan pesantren, maka PKI memiliki slogan tersendiri, yaitu "Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati."
Ternyata slogan itu bukan sekadar gertakan, tetapi benar-benar dilaksanakan. Sementara strateginya adalah teror, tangkap, dan bantai. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam buku Benturan NU dan PKI 1948-1965 yang disusun Tim PBNU Tahun 2013.
Penculikan terhadap para pimpinan pesantren yang selama ini aktif dalam perjuangan kemerdekaan telah dimulai. Para kiai yang mengajarkan agama dan cinta Tanah Air itu dianggap menghambat agenda PKI. Maka bagi PKI, kiai harus dimusnahkan.
Sebagai contoh, KH Imam Mursyid pemimpin Pesantren Sabilil Muttaqin dan Pemimpin Tarekat Syatariyah yang kharismatik dari Takeran. PKI menculik kiai tersebut pada 17 September 1948 setelah sholat Jumat.
Akhirnya, KH Imam Mursyid menyerah...
Akhirnya, KH Imam Mursyid menyerah sebab kalau melawan diancam pesantrennya akan dibakar dan keluarganya dihabisi. Padahal KH Imam Mursyid inilah yang turut berjasa membantu KH Wahid Hasyim, anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) merumuskan konsep Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Mukadimah UUD 1945. Karena itu, Mukadimah UUD 1945 itu sangat bernuansa religius, suatu hal yang tidak disukai oleh PKI.
Pada sore dan malam harinya beberapa kiai lainnya juga mengalami nasib yang sama. Saat itu juga para pejabat pemerintah diculik dan dibunuh oleh PKI.
PKI tahu selama ini pesantren merupakan saingan kuatnya dalam melakukan revolusi sosial karena pesantren jauh lebih dipercaya ketimbang PKI yang hanya ditakuti. Karena itu untuk mengawali revolusi sosialnya, maka didahului dengan melumpuhkan pesantren. Dengan demikian, PKI bisa melumpuhkan penyangga kekuatan negara Indonesia.
Pembantaian Kiai oleh PKI
Penangkapan para pengasuh pesantren terus dilanjutkan, maka pada 19 September 1948, KH Muhammad Nur ditangkap, termasuk kiai pesantren seperti Ustadz Ahmad Baidlowi, Muhammad Maidjo, Rofi’i Tjiptomartono dan lain-lain. Para kiai tersebut dibantai dimasukkan sumur bersama ratusan korban lainnya.
Keseluruhan kiai di lingkungan pesantren Takeran yang menjadi korban sejumlah 14 orang. Karena jumlahnya banyak, mereka diikat menjadi satu sehingga mudah digiring ke lubang pembantaian. Mereka tidak diikat dengan rantai, melainkan dengan tali kulit bambu yang sangat tajam sehingga jika mereka bergerak kulit mereka tersayat.
Pesantren lain seperti pesantren Burikan juga dibakar oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR) PKI. Sementara kiainya ditangkap, seperti K Keang, K Malik dan Mulyono semuanya dibantai dan dimasukkan lubang pembantaian yang sudah mereka siapkan. Harta benda mereka dirampas, berbagai kitab dibakar, sehingga santri bubar, menyelamatkan diri kembali ke kampung halaman masing-masing atau mengungsi ke daerah lain.
Pesantren makin sepi...
Hal itu membuat pesantren semakin sepi dan keluarga pesantren tidak mendapat penjagaan yang ketat dari para santri. Penjagaan hanya dilakukan oleh keluarga kiai dan tetangga terdekat sehingga posisi para kiai sangat terancam.
Cerita lainnya, yakni KH Sulaiman Zada karena santrinya sudah lama mengungsi, maka dengan mudah ditangkap gerombolan PKI. Karena tidak melakukan perlawanan maka pesantren dibiarkan berdiri, walaupun santrinya sudah lama meliburkan diri sejak Madiun dilanda pemberontakan.
Namun, nasib sang kiai dengan keluarganya tidak bisa terselamatkan di bawah pembantaian kelompok komunis yang sengaja ingin membumihanguskan pesantren sebagai basis gerakan Islam yang menghalangi ekspansi PKI. Baru beberapa tahun kemudian jenazahnya ditemukan.
Perburuan terhadap para ulama pimpinan pesantren terus dilakukan. Sehingga seorang kiai yang pesantrennya berada jauh di luar Magetan juga menjadi sasaran. KH Imam Shafwan Pemimpin Pesantren Kebonsari bersama kedua orang anaknya, yaitu K Zubair dan K Abu Bawani yang sedang memimpin pengajian juga dibantai oleh FDR-PKI.
Pada umumnya para kiai telah mempersiapkan diri dengan ilmu kanuragan untuk membentengi diri dari serangan penjahat terutama gerombolan PKI, hal itu dialami oleh Kiai Imam Shofwan saat dianiaya PKI. Walaupun kedua anaknya telah mati, tetapi sang kiai masih bertahan walaupun menghadapi berbagai siksaan.
Karena PKI sudah jengkel dan tidak sabar lagi, maka kiai tersebut dimasukkan hidup-hidup ke dalam sumur. Dalam kondisi terjepit itulah KH Imam Shafwan mengumandangkan adzan yang disaksikan oleh beberapa santrinya. Tetapi, kemudian ia dikubur dalam keadaan masih hidup oleh pasukan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo)-PKI.
Dilansir dari buku Benturan NU dan PKI 1948-1965 yang disusun Tim Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Tahun 2013. Buku ini ditulis Abdul Mun’im DZ dengan peneliti utama Agus Sunyoto dan Al Sastrwo Ng.