Kehebatan Intelijen Israel Dipertanyakan Seusai Serangan Hamas
Hamas menahan puluhan warga Israel.
REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Bagi warga Palestina di Gaza, pandangan Israel tidak pernah jauh dari pandangan mereka. Drone pengintai terus-menerus berdengung dari langit.
Perbatasan yang sangat aman dipenuhi dengan kamera keamanan dan tentara yang berjaga. Badan-badan intelijen menggunakan sumber daya dan kemampuan dunia maya untuk menarik sejumlah informasi.
Namun, mata Israel tampaknya tertutup menjelang serangan gencar yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh Hamas pada Sabtu (7/10/2023). Para pejuang Palestina dapat merobohkan penghalang perbatasan Israel dan mengirim ratusan orang ke Israel untuk melakukan serangan.
Badan-badan intelijen Israel telah memperoleh aura yang tak terkalahkan selama beberapa dekade karena serangkaian pencapaiannya. Israel telah menggagalkan rencana yang disebarkan di Tepi Barat, diduga memburu agen Hamas di Dubai, dan dituduh membunuh ilmuwan nuklir Iran di jantung Iran. Bahkan ketika upaya mereka gagal, lembaga-lembaga seperti Mossad, Shin Bet, dan intelijen militer tetap mempertahankan kekuatannya.
Namun, serangan akhir pekan lalu itu membuat reputasi Israel diragukan. Peristiwa itu pun menimbulkan pertanyaan tentang kesiapan negara tersebut dalam menghadapi musuh yang lebih lemah, tetapi memiliki tekad yang kuat.
Lebih dari 48 jam kemudian, Hamas terus memerangi pasukan Israel di dalam wilayah Israel, dan puluhan warga Israel ditahan Hamas di Gaza. “Ini adalah kegagalan besar,” kata mantan penasihat keamanan nasional Perdana Menteri Benjamin Netanyahu Yaakov Amidror.
“Operasi ini sebenarnya membuktikan bahwa kemampuan (intelijen) di Gaza tidak bagus," ujarnya.
Amidror menolak memberikan penjelasan atas kegagalan tersebut. Dia mengatakan bahwa pelajaran harus diambil ketika masalah sudah mereda.
Kepala juru bicara militer, Laksamana Muda Daniel Hagari, mengakui bahwa tentara berhutang penjelasan kepada publik. Namun, menurut dia, sekarang bukan waktu yang tepat.
“Pertama kita lawan, lalu kita selidiki,” ujar Hagari.
Ada yang mengatakan masih terlalu dini untuk menyalahkan kesalahan intelijen semata. Mereka menunjuk pada gelombang kekerasan tingkat rendah di Tepi Barat yang mengalihkan sejumlah sumber daya militer di sana.
Peristiwa itu diperparah dengan kekacauan politik yang mengguncang Israel atas langkah-langkah pemerintah sayap kanan Netanyahu untuk merombak sistem peradilan. Rencana kontroversial tersebut telah mengancam kohesi kekuatan militer negara tersebut.
Namun, kurangnya pengetahuan sebelumnya mengenai rencana Hamas tetap akan menjadi sorotan. Poin tersebut kemungkinan besar akan dilihat sebagai penyebab utama rangkaian peristiwa yang menyebabkan serangan paling mematikan terhadap Israel dalam beberapa dekade.
Israel menarik pasukan dan pemukimnya dari Jalur Gaza pada 2005, sehingga Israel tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di wilayah tersebut. Namun bahkan setelah Hamas menguasai Gaza pada 2007, Israel tampaknya tetap mempertahankan keunggulannya dengan menggunakan teknologi dan kecerdasan manusia.
Mereka mengaku mengetahui secara pasti lokasi kepemimpinan Hamas. Klaim ini sering kali dibuktikan melalui pembunuhan para pemimpin kelompok dalam serangan, kadang-kadang ketika mereka sedang tidur di kamar tidur mereka. Israel mengetahui harus menyerang terowongan bawah tanah yang digunakan oleh Hamas untuk mengangkut para pejuang dan senjata.
Terlepas dari kemampuan tersebut, Hamas tetap mampu menyembunyikan rencananya. Serangan tiba-tiba yang dilakukan kemungkinan memerlukan perencanaan berbulan-bulan dan pelatihan yang cermat. Tindakan itu juga pasti melibatkan koordinasi di antara berbagai kelompok di Gaza. Semua itu tampaknya tidak terdeteksi oleh radar intelijen Israel sama sekali.
Pensiunan jenderal Israel Amir Avivi mengatakan, tanpa pijakan di Gaza, dinas keamanan Israel semakin bergantung pada sarana teknologi untuk mendapatkan informasi intelijen. Dia menyatakan, para pejuang di Gaza telah menemukan cara untuk menghindari pengumpulan intelijen teknologi tersebut, sehingga memberikan gambaran yang tidak lengkap kepada Israel mengenai niatnya.
“Pihak lain belajar untuk menghadapi dominasi teknologi kami dan mereka berhenti menggunakan teknologi yang dapat mengungkapnya,” kata sosok yang bertugas sebagai penyalur materi intelijen di bawah mantan kepala staf militer.
“Mereka sudah kembali ke Zaman Batu,” kata presiden dan pendiri Israel Defense and Security Forum, sebuah kelompok garis keras yang terdiri dari mantan komandan militer.
Avivi menjelaskan, bahwa para pejuang Palestina tidak menggunakan telepon atau komputer. Mereka melakukan urusan sensitif di ruangan yang dilindungi secara khusus dari spionase teknologi atau melakukan gerakan bawah tanah.
Tapi Avivi menyoroti, kegagalan tersebut lebih dari sekadar pengumpulan intelijen. Badan keamanan Israel gagal memberikan gambaran akurat dari informasi intelijen yang diterima.