Studi: Kerugian Akibat Perubahan Iklim Capai Rp 2.193 Triliun
Studi menghitung kerugian ekonomi global akibat perubahan iklim sejak 2000-2019.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi baru yang diterbitkan oleh dua ilmuwan di Victoria University of Wellington menandai upaya pertama untuk mengukur kerugian ekonomi global yang secara langsung dikaitkan dengan perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Hasilnya terungkap bahwa kerugian rata-rata per tahun akibat perubahan iklim dari tahun 2000 hingga 2019 mencapai 140 miliar dolar AS.
Berdasarkan angka-angka ini, serangan cuaca ekstrem tanpa henti yang dipicu oleh krisis iklim telah menelan biaya sebesar 16 juta dolar AS (sekitar Rp 251 miliar) setiap jamnya. Data terbaru dari tahun 2022 menunjukkan biaya yang lebih tinggi lagi, yaitu sebesar 280 miliar dolar AS untuk biaya terkait iklim.
Untuk menghitung angka-angka tersebut, para peneliti mempertimbangkan bahwa banjir yang menghancurkan, gelombang panas yang menyengat, dan kekeringan yang tak henti-hentinya tidak hanya menyebabkan tanah, rumah, dan infrastruktur lokal rusak atau hancur, tetapi juga merenggut nyawa manusia yang tak terhitung jumlahnya.
Dengan mempertimbangkan semua faktor itu, kemungkinan angka 140 miliar dolar AS per tahun bisa jadi jauh lebih tinggi. Studi ini juga tidak memasukkan biaya-biaya lain yang terkait dengan iklim seperti penurunan hasil panen dan naiknya permukaan air laut, namun akan menjadi titik awal yang penting untuk memahami jumlah dana yang dibutuhkan untuk skema kerugian dan kerusakan di konferensi COP28 bulan depan.
Para peneliti yaitu Profesor Ilan Noy dan koleganya Rebecca Newman, menggunakan nilai statistik sebesar 7 juta dolar AS untuk satu nyawa yang hilang, yang merupakan rata-rata dari dua angka yang digunakan oleh pemerintah Amerika Serikat dan Inggris. Hal ini mungkin terdengar seperti pendekatan yang diperdebatkan, tetapi pendekatan ini sejalan dengan praktik ekonomi standar dan sangat penting untuk membuat keputusan tentang investasi di berbagai sektor.
“Penting juga untuk memperhitungkan nyawa manusia, karena menghitung kerusakan ekonomi pada infrastruktur saja akan membuat estimasi biaya menjadi tidak proporsional dan lebih condong ke negara-negara kaya, terlepas dari kenyataan bahwa cuaca ekstrem sering kali berdampak pada negara-negara yang lebih miskin,” kata Prof Noy seperti dilansir Thred, Kamis (12/10/2023).
Selama dua dekade, sebanyak 1,2 miliar orang terkena dampak dari peristiwa cuaca ekstrem yang terkait dengan krisis iklim, dengan dua pertiga dari beban keuangan disebabkan oleh kematian. Sepertiga sisanya muncul dari kehancuran properti dan aset lainnya. Badai menyumbang dua pertiga dari kerugian ekonomi akibat krisis iklim, sementara gelombang panas menyumbang 16 persen, dan banjir serta kekeringan menyumbang 10 persen.
Berkat pendekatan gabungan ini, terlihat perbedaan yang cukup besar antara kerugian tahunan sebesar 140 miliar dolar AS dan 100 miliar dolar AS yang diusulkan untuk dana kerugian dan kerusakan yang dibuat oleh negara-negara kaya untuk membantu negara-negara yang kurang mampu. Menarik juga untuk dicatat bahwa angka ini jauh di bawah subsidi tahunan sebesar 7 triliun dolar AS yang dinikmati oleh industri bahan bakar fosil.
Memahami beban keuangan akibat krisis iklim akan menjadi alat yang sangat penting untuk menentukan jumlah uang yang dibutuhkan untuk menciptakan dana kerugian dan kerusakan global.
Membentuk dana kerugian dan kerusakan merupakan topik utama yang dibahas di COP27 tahun lalu, dengan tujuan untuk menawarkan bantuan kepada negara-negara yang rentan yang perlu pulih dari dampak cuaca buruk. Profesor Noy menekankan pentingnya perhitungan biaya tahunan sebesar 140 miliar dolar AS terhadap perbedaannya dengan kuantifikasi biaya perubahan iklim standar yang didasarkan pada model komputer.
Sekarang jelas bahwa perkiraan sebelumnya terlalu meremehkan dampak ekonomi yang sebenarnya dari krisis iklim. Namun, Noy mengakui bahwa perhitungannya mungkin juga tidak tepat. Tantangan yang signifikan untuk memahami angka yang sebenarnya ditimbulkan oleh kurangnya data tentang peristiwa cuaca ekstrem tertentu di negara-negara miskin, serta angka yang hilang terkait dengan korban manusia dan kerusakan infrastruktur.
"Kami tidak tahu berapa banyak orang yang meninggal akibat gelombang panas di seluruh Afrika sub-Sahara. Hal ini mengindikasikan bahwa angka yang kami sebutkan di berita utama sebesar 140 miliar dolar AS juga merupakan angka yang terlalu rendah,” kata Prof Noy.
Penelitian ini pada akhirnya merupakan peringatan keras bagi dunia, sekaligus menyoroti kebutuhan mendesak akan kolaborasi internasional dan aksi iklim yang tegas. Seiring dengan angka yang terus meningkat, biaya yang harus ditanggung jika tidak ada tindakan terlalu tinggi untuk diabaikan.