Bappenas: Perlu Pemetaan Sumber Protein Lokal Cegah Stunting
Kemampuan anak untuk mengonsumsi makanan terbatas.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas Jarot Indarto mengatakan perlu pemetaan ketersediaan sumber protein pangan lokal untuk pencegahan stunting yang efektif.
"Di beberapa daerah ikan atau pangan hewani lain kurang ketersediaannya, dan harganya menjadi mahal. Oleh karena itu, sumber protein hewani yang tersedia dan terjangkau perlu diprioritaskan sesuai dengan pemetaan ketersediaan komoditas pangan di suatu wilayah," ujar Jarot di Jakarta, Jumat (20/10/2023).
Dia menambahkan, hal itu menjadi tugas bersama, karena konsumsi pangan lokal termasuk pangan hewani masih rendah. Pemetaan akan sangat membantu desa sebagai sebuah panduan berbasis data untuk menyusun program pencegahan stunting yang efektif dari alokasi dana desa sebesar 20 persen.
Selain itu, kata dia, masalah sanitasi juga merupakan faktor penting dalam mencegah stunting dan memastikan kebutuhan air terpenuhi untuk produksi pangan dan konsumsi masyarakat.
"Termasuk di pulau-pulau terpencil. Salah satu prioritas kami adalah mencegah krisis energi, pangan, dan air," kata Jarot.
Data bagian Kelautan dan Perikanan Bappenas menyebutkan, dalam rentang 2018-2022 terdapat kenaikan jumlah tangkapan ikan. Namun, tidak terjadi peningkatan konsumsi ikan yang signifikan pada masyarakat.
Jarot mengakui bahwa memang masih ada ketidakseimbangan ketersediaan dan permintaan produksi dan konsumsi ikan. Hal itu disebabkan oleh kurangnya rantai dingin (cold chain) sehingga ikan mudah rusak dan tidak tahan lama.
Selain itu, ada pula masalah distribusi yang belum bisa menjangkau pasar-pasar di wilayah terpencil. Keterbatasan akses, menurunnya daya beli, serta preferensi masyarakat juga turut berperan dalam tingkat konsumsi ikan yang cenderung stagnan dalam 15 tahun terakhir.
Country Lead Action Against Stunting Hub (AASH) Indonesia yang juga peneliti senior Southeast Asian Ministers of Education Organization Regional Center for Food and Nutrition (SEAMEO RECFON) Umi Fahmida mengatakan pihaknya pernah melakukan pemetaan potensi pangan lokal di 50 kabupaten prioritas stunting.
Hasil pemetaan tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan anak usia balita kekurangan zat besi, kalsium, seng, dan asam folat atau yang disingkat “Bekal Solat”.
Pemetaan itu disusun berdasarkan data aktual konsumsi masyarakat setempat, sehingga rekomendasi yang dihasilkan mencakup sumber protein hewani lokal yang tersedia dan dapat diakses oleh masyarakat.
“Pesan gizi yang disampaikan kepada Ibu harus lebih spesifik, tidak hanya pangan sumber protein, atau hanya terpaku pada satu sumber seperti telur. Perlu adanya diversifikasi pangan hewani sehingga selain protein, kebutuhan zat gizi mikro yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak bisa terpenuhi," katanya.
Contohnya dalam seminggu, pangan yang diberikan bisa bervariasi, mencakup ikan sebagai sumber seng, teri dan ikan kecil lainnya dengan kandungan kalsium yang tinggi, atau hati ayam yang harganya relatif murah dan kaya akan zat besi.
"Kemampuan anak untuk mengonsumsi makanan terbatas, pastikan setiap suapan makanan yang diberikan kepada anak padat gizi," kata Umi.
Studi AASH juga melihat rantai nilai pangan hewani seperti ikan, telur, ayam, dan hati ayam di Kabupaten Lombok Timur. Selain itu juga dilakukan Workshop Agrifood untuk melihat persepsi berbagai stakeholder yang terdiri dari konsumen, penjual, penyuluh pertanian, dan penyuluh gizi terhadap ketersediaan pangan lokal sumber protein.
Umi berharap hasil penelitian AASH ini dapat berkontribusi dalam mengisi kekurangan informasi dengan memberikan masukan berbasis data untuk membuat kebijakan terkait pencegahan stunting dengan cara meningkatkan dan memperbaiki rantai pangan sumber protein hewani.
Tim peneliti AASH pada komponen pangan ini terdiri atas berbagai disiplin ilmu yang meliputi ahli gizi, peternakan, ekonomi pertanian, dan lingkungan pangan. Hasil penelitian AASH diharapkan dapat memberikan masukan terhadap strategi peningkatan konsumsi pangan yang lebih efektif.
Umi menambahkan bahwa keterlibatan seluruh sektor dari hulu ke hilir diperlukan dalam peningkatan konsumsi pangan, untuk memastikan produksi dan ketersediaan pangan yang cukup, harga yang terjangkau, serta adanya edukasi terkait pangan lokal yang padat gizi.