Deretan Video Hoaks Mengenai Perang Hamas-Israel yang Beredar Luas di Medsos
Perang Israel-Hamas juga memicu aksi kekerasan berlatar SARA di sejumlah negara.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika perang Israel-Hamas berkecamuk, para regulator dan analis mengatakan gelombang disinformasi yang beredar luas di media sosial berisiko semakin mengobarkan semangat perang. Hoaks yang menyebar luas dapat meningkatkan konflik dalam kabut perang elektronik.
Ledakan di sebuah rumah sakit di Gaza yang menewaskan ratusan warga Palestina pada Selasa (17/10/2023) adalah fokus terbaru dari lonjakan aktivitas, ketika para pendukung kedua belah pihak dalam pertempuran antara Israel dan Hamas mencoba untuk memperkuat narasi masing-masing dan meragukan pihak lain.
Unit pemeriksa fakta Reuters telah mengidentifikasi sejumlah kasus unggahan di media sosial yang menggunakan gambar dan informasi palsu tentang perang Israel-Hamas, dan kasus-kasus lain yang menimbulkan kebingungan.
Berikut adalah video hoaks yang beredar selama perang Israel-Hamas.
* Video Presiden Rusia Vladimir Putin yang berbicara tentang Ukraina tahun lalu, dibagikan bulan ini dengan teks palsu yang memperingatkan AS untuk tidak ikut campur dalam konflik Israel-Hamas.
* Di tengah gambar asli yang menunjukkan jenazah korban serangan Israel, sebuah video hukuman mati tanpa pengadilan terhadap seorang gadis berusia 16 tahun di Guatemala pada 2015 telah disalahartikan sebagai video yang menunjukkan seorang wanita muda Israel dibakar oleh massa Palestina.
* Setelah menerima kritik tentang bendera biru dan putih yang digunakan dalam aksinya, penyanyi pop, Pink memberikan klarifikasi. Pink mengatakan, bendera biru putih tersebut bukan bendera Israel melainkan bendera Poi yang digunakan oleh orang Māori.
"Saya mendapat banyak ancaman karena orang-orang secara keliru percaya bahwa saya mengibarkan bendera Israel di acara saya, padahal sebenarnya tidak. Saya telah menggunakan bendera Poi sejak awal tur ini. Bendera ini digunakan bertahun-tahun yang lalu oleh orang Māori di Selandia Baru," ujar Pink.
Ketegangan yang meningkat dapat mempunyai dampak nyata di luar kota-kota Palestina dan kibbutze-kibbutz Israel. Prancis telah berada dalam siaga keamanan tertinggi setelah seorang guru tewas dalam serangan ekstremis, dan ancaman bom di Museum Louvre. Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin mengatakan, serangan itu ada kaitannya dengan peristiwa di Timur Tengah.
Di Illinois, seorang tuan tanah didakwa melakukan kejahatan rasial. Dia dituduh menikam seorang anak laki-laki Palestina-Amerika berusia 6 tahun hingga tewas dan melukai ibunya, yang merupakan penyewa rumah tersebut. Kantor sheriff menyatakan, korban menjadi sasaran karena mereka beragama Islam dan berkaitan dengan perang Hamas-Israel.
Sekolah-sekolah Yahudi di London ditutup pada akhir pekan setelah sebuah badan amal Yahudi yang menyediakan keamanan mencatat peningkatan insiden antisemit sebesar 400 persen sejak meletusnya perang Hamas-Israel. Dalam konflik-konflik modern, di seluruh dunia dan juga di Timur Tengah, pihak-pihak yang bertikai telah lama menggunakan televisi dan internet untuk memenangkan perang hati dan pikiran serta perang di lapangan. Sering kali mereka mencampuradukkan kebenaran dengan fiksi.
Kepala Industri Uni Eropa, Thierry Breton mengecam X, perusahaan induk Facebook, Meta, TikTok, dan YouTube karena tidak berbuat cukup banyak untuk mengekang disinformasi setelah perang Hamas-Israel. Masing-masing perusahaan mengatakan, mereka telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi konten berbahaya.
Pakar disinformasi dan profesor di Universitas Hamad bin Khalifa di Qatar, Marc Owen Jones mengatakan, peningkatan disinformasi selama konflik sering terjadi. Narasi anti-Palestina mencakup klaim bahwa warga Palestina digambarkan sebagai “aktor krisis”.
“Hal ini juga dirancang untuk memperkeruh keadaan dan menggambarkan orang-orang Palestina sebagai orang yang tidak jujur, sekaligus membuat orang ragu apakah gambaran penderitaan orang Palestina yang mereka lihat itu asli," ujar Jones.
Sejak 7 Oktober, Unit Siber di Kantor Kejaksaan Israel mulai berupaya menghapus konten di jejaring sosial yang menghasut kekerasan, yang terkait dengan Hamas. Kantor kejaksaan Israel telah mengajukan sekitar 4.450 permintaan untuk menghapus konten di Facebook, TikTok dan X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter.