Siapa yang Dimaksud Santri dan Bagaimana Asal Usulnya?

Hari Santri Nasional momentum teguhkan peran pesantren

ANTARA FOTO/ZABUR KARURU
Sejumlah santri melambaikan tangan ketika mengikuti apel Hari Santri Nasional di Tugu Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (22/10/2023). Kegiatan memperingati Hari Santri Nasional 2023 yang dihadiri sejumlah pejabat pemerintah hingga tokoh ulama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) serta ribuan santri tersebut mengangkat tema Jihad Santri, Jayakan Negeri.
Rep: Mabruroh Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Indonesia memperingati Hari Santri Nasional setiap 22 Oktober. Tahun ini peringatan Hari Santri Nasional digelar di Surabaya, Jawa Timur yang dihadiri Presiden Joko Widodo.

Baca Juga


Secara umum, santri merupakan sebutan untuk pelajar  yang sedang  menempuh ilmu pendidikan agama di pondok pesantren. Di pesantren inilah, santri dididik agar berperilaku dan bertutur kata yang santun, mandiri, disiplin, hidup sederhana dan menerima kesederhanaan.

Bahkan dari segi pakaian pun, santri memiliki ciri tersendiri. Baik santri laki-laki maupun santri perempuan, sarung menjadi pakaian yang melekat dalam keseharian mereka. Setelah tamat dari pesantren pun, masih banyak yang tetap betah menggunakan sarung ketika berada di rumah.

Seiring perkembangnya zaman, sudah banyak pesantren-pesantren modern yang berdiri. Santri tidak lagi tidur beralaskan tikar atau kasur tipis, namun sudah ada ranjang-ranjang bertingkat, hingga kamar yang nyaman dan memiliki pendingin ruangan. Ini salah satu bentuk dari perkembangan zaman yang tidak dapat dihindari.

Bukan hanya pesantren, namun seiring berkembangnya zaman, istilah santri pun sudah mengalami perluasan. Banyak yang mengaku santri kiai A, santri kiai B, padahal mereka tidak pernah mondok atau tinggal di pesantren sekalipun. Lalu, sebenarnya apa pengertian dari santri dan dari mana asal usul kata santri ini?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Santri adalah sebutan untuk orang yang mendalami agama Islam. Sedangkan menurut Dr Arifi Saiman dalam bukunya “Diplomasi Santri” menyebutkan bahwa secara umum kata santri yang sering dimaknai sebagai sosok pribadi agamis, yang kesehariannya mengenakan sarung, peci dan tinggal di pesantren, dan secara esensial memiliki kedekatan dengan kata pesantren, tempat para santri menimba ilmu agama Islam.

Baca juga: Secarik Alquran Bertuliskan Ayat As-Saffat Ditemukan di Puing Masjid Gaza, Ini Tafsirnya

Menurut C C Berg menyebut kata "santri" berasal dari bahasa Sanskerta, yakni "shastri" yang berarti orang yang mempelajari kitab-kitab suci agama Hindu. Pendapat ini didasarkan pada fakta sejarah bahwa bahasa Sanskerta pernah digunakan oleh masyarakat Nusantara pada masa Hindu dan Budha atau sebelum Islam masuk ke Indonesia.

Dalam perkembangannya, kata "shastri" kemudian diserap ke dalam bahasa Jawa menjadi kata "santri". Pandangan C C  Berg ini diamini Zamakhsyari Dhofier dalam buku Tradisi Pesantren (1985) yang secara bentuk dan sistem melihat adanya kemiripan antara pendidikan pesantren dan pendidikan ala Hindu di India.

Sementara itu, Nurcholish Madjid dalam buku Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (1999) memaknai kata santri sebagai kosakata yang berasal dari bahasa Jawa, yaitu dari kata "cantrik". Kata "cantrik" di sini bermakna "orang atau murid yang selalu mengikuti gurunya”.

 

Sedangkan dalam buku “Air Mata Santri di Negeri Pesantren” karya Nisa'atun Nafisah, menurut KH D Zawawi Imron kata santri secara bahasa berasal dari bahasa sanskerta yaitu sastri yang mana istilah tersebut dimaknai sebagai seseorang yang sedang belajar serta mengkaji kalimat suci dan indah.

Dalam konteks ini, di Indonesia berarti mempelajari Alquran dan hadits Rasulullah SAW sebagai pedoman umat Islam di Jawa, Madura dan di wilayah Indonesia bagian lainnya. Kemudian menurut istilah, santri adalah seseorang yang sedang belajar ilmu agama Islam dan tinggal di pondok pesantren.

Sedangkan definisi santri menurut KH Mustofa Bisri (Gus Mus) bahwa "Santri bukan hanya yang mondok saja, tetapi siapapun yang berakhlak santri, yang tawadu kepada gusti Allah, tawadu kepada orang-orang alim, kalian namanya santri". 

Jadi santri menurut Gus Mus adalah orang-orang yang senantiasa dalam hidupnya bertawadu kepada Allah dan kepada orang-orang alim.

Upaya pemerintah tingkatkan kualitas pendidikan pesantren - (Republika.co.id)

Selain itu, masih menurut Gus Mus, santri bisa bermakna murid kiai yang dididik dengan kasih sayang untuk menjadi mukmin yang kuat, yang tidak goyah imannya oleh pergaulan, kepentingan, dan adanya perbedaan.

Baca juga: Daftar Produk-Produk Israel yang Diserukan untuk Diboikot, Cek Listnya Berikut Ini

 

Sedangkan definisi santri yang dijadikan pedoman oleh para santri PP. Anwarul Huda Malang yang tercantum dalam sebuah ukiran batu di area pondok, dapat dijadikan tambahan wawasan.

1. Huruf shin adalah saalikun ila al-khairat (orang yang menempuh jalan akhirat)

2. Huruf Nun adalah naaibu an masyayikh, yang berarti pengganti para masyayikh atau para gurunya.

3. huruf Ta’ adalah tariku an ma’ashi  (meninggalkan maksyiat)

4. Huruf Ra’ adalah raghibun fil khairat (cinta kebaikan)

5. Ya’ adalah yarju as-salamata fi ad-dunya wal akhirat (berharap keselamatan di dunia dan akhirat).

Ada banyak kisah awal para santri saat pertama kali menginjakkan kakinya di Pesantren. Anaknya yang menangis atau justru keluarganya yang menangis. Wajar saja, meninggalkan keluarga yang dicintainya bukan suatu perkara yang mudah sehingga, awal masuk pesantren harus dihadapi dengan seleksi alam pesantren, dari keadaan tersebut ada yang betah dan ada yang tidak. Biasanya, kalau yang tidak betah akan boyong atau keluar dari pesantren. 

Santri tidak hanya dibatasi kepada mereka yang tinggal di pondok pesantren. Dalam fakta empiris memang kadang dijumpai, mereka yang tinggal di pesantren, pola pikir, sikap dan tindakannya tidak sepenuhnya mewakili karakteristik khas santri, sedang mereka yang tinggal di luar pesantren justru memiliki karakteristik khas santri.

Dalam pandangan masyarakat luar, Santri yang tinggal di pesantren dianggap sebagai tinggal di dalam penjara karena banyak sekali aturan yang membatasi gerak para santrinya. Padahal dari keterbatasan itu banyak sekali tradisi menyenangkan yang dilalui oleh para santri, yang tidak akan didapatkan dimanapun kecuali di pesantren.

Menurut Geertz Tradisi sosiokultural Santri ditandai dengan wujud perilaku ketaatan para pendukungnya dalam menjalankan ibadah agama Islam yang sesuai dengan ajaran syariat agama, sementara tradisi Abangan, ditandai dengan orientasi kehidupan sosio-kultural yang berakar pada tradisi mistisisme pra-Hindu.

Baca juga: Daftar Produk-Produk Israel yang Diserukan untuk Diboikot, Cek Listnya Berikut Ini

Nyatanya tradisi yang masyhur di kalangan pesantren itu adalah makan talaman, ro'an, joinan, antri, petanan, tidur bersama, ngaji sorogan, ngaji wetonan, setoran hafalan (ziyadah, muroja’ah), dan masih banyak lagi. Dengan adanya semua ini, mampu menciptakan kerukunan dan kesederhanaan. Itulah kenapa kita hampir tidak pernah mendengar ada tawuran santri antar pondok pesantren.

Ada juga sebagian santri yang menghiasi kehidupannya di pesantren dengan berbagai macam tirakat seperti wiridan, mengamalkan hizib, dalail, burdah, puasa senin dan kamis, puasa mutih, puasa ngerowot atau puasa Daud.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler