Miliaran Kepiting di Alaska Hilang, Ilmuwan Kaitkan dengan Perubahan Iklim

Suhu laut yang memanas membuat kepiting di Alaska diduga mati kelaparan.

www.freepik.com
Kepiting salju yang memiliki habitat di Alaska menghilang karena perubahan iklim.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Miliaran kepiting salju menghilang dari lautan di sekitar Alaska dalam beberapa tahun terakhir. Para ilmuwan meyakini bahwa fenomena itu terkait dengan suhu laut yang memanas, sehingga menyebabkan kepiting mati kelaparan.

Baca Juga


Temuan ini muncul hanya beberapa hari setelah Departemen Perikanan dan Peternakan Alaska mengumumkan bahwa musim panen kepiting salju dibatalkan untuk tahun kedua berturut-turut. Alasannya, banyak kepiting yang hilang dari perairan Laut Bering yang biasanya sangat dingin dan berbahaya.

Studi yang diterbitkan para ilmuwan di National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), menemukan hubungan yang signifikan antara gelombang panas laut baru-baru ini di Laut Bering bagian timur dan hilangnya kepiting salju secara tiba-tiba yang mulai muncul dalam survei pada tahun 2021.

"Ketika saya menerima data tahun 2021 dari survei untuk pertama kalinya, pikiran saya langsung melayang. Semua orang hanya berharap bahwa itu adalah kesalahan dalam survei dan tahun depan Anda akan melihat lebih banyak kepiting. Tapi sekarang, terbukti bahwa kepiting itu memang tidak ada,” kata Cody Szuwalski, penulis utama studi dan ahli biologi perikanan di NOAA.

Tahun lalu, para ahli mengaitkan hilangnya kepiting Alaska dengan penurunan populasi dan penangkapan yang berlebihan. Namun studi terbaru yang dilakukan Szuwalski mengungkap bahwa perubahan iklim memiliki pengaruh besar dalam fenomena hilangnya kepiting salju tersebut.

Untuk penelitian ini, para ilmuwan menganalisis faktor yang dapat memicu hilangnya kepiting salju mulai tahun 2020. Pilihannya mengerucut pada menjadi dua kategori yaitu kepiting salju bermigrasi atau mati.

Szuwalski mengatakan, dia bersama tim telah menelusuri ke utara dan barat Laut Bering, bahkan ke tingkat yang lebih dalam di lautan. Namun pada akhirnya disimpulkan bahwa kepiting-kepiting tersebut tidak mungkin berpindah, dan bahwa peristiwa kematian mungkin menjadi penyebab utama.

“Kami menemukan bahwa suhu yang lebih hangat dan kepadatan populasi secara signifikan terkait dengan tingkat kematian yang lebih tinggi di antara kepiting dewasa,” ungkap Szuwalski.

Kepiting salju adalah spesies air dingin dan banyak ditemukan di daerah dengan suhu air di bawah 2 derajat Celcius, meskipun mereka dapat hidup di perairan dengan suhu hingga 12 derajat Celcius. Air laut yang lebih hangat kemungkinan besar mengganggu metabolisme kepiting dan meningkatkan kebutuhan kalori mereka.

Jumlah energi yang dibutuhkan kepiting dari makanan pada tahun 2018, mungkin telah meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun, dengan panas yang mengganggu sebagian besar jaringan makanan di Laut Bering, kepiting salju mengalami kesulitan untuk mencari makan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan kalori.

Menurut salah satu peneliti dari NOAA, Kerim Aydin, spesies lain telah mengambil keuntungan dari situasi yang mengerikan ini. Biasanya, ada penghalang suhu di lautan yang mencegah spesies seperti ikan kod Pasifik mencapai habitat kepiting yang sangat dingin. Namun, selama gelombang panas, ikan kod Pasifik dapat mencapai perairan yang lebih hangat dari biasanya dan memakan sebagian dari populasi kepiting yang tersisa.

"Ini adalah efek gelombang panas yang sangat besar. Ketika gelombang panas datang, itu menciptakan kelaparan yang sangat besar. Spesies lain mungkin telah pindah untuk memanfaatkannya, dan kemudian ketika gelombang panas berlalu, keadaan mungkin sedikit lebih normal, meskipun kepiting memiliki jalan panjang untuk melewatinya bahkan di waktu normal,” kata Aydin seperti dilansir dari CNN, Senin (23/10/2023).

Suhu di sekitar Kutub Utara telah menghangat empat kali lebih cepat daripada bagian lain dari planet ini, demikian laporan para ilmuwan. Perubahan iklim telah memicu hilangnya es laut dengan cepat di wilayah Arktik, terutama di Laut Bering Alaska, yang pada gilirannya memperkuat pemanasan global.

"Tahun 2018 dan 2019 merupakan anomali ekstrem pada es laut di Laut Bering, sesuatu yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Mungkin hanya ada empat persen dari cakupan es yang pernah kita lihat secara historis, dan untuk mengetahui apakah hal itu akan terus berlanjut atau tidak, sulit untuk dikatakan,” kata Szuwalski.

Ia mengungkap bahwa apa yang terjadi pada kepiting Alaska adalah bukti bahwa krisis iklim semakin cepat dan berdampak pada mata pencaharian.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler