136 Juta Pekerjaan Diprediksi akan Hilang Dampak dari Krisis Iklim
Ratusan juta pekerjaan diprediksi akan hilang dalam tujuh tahun mendatang.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi Buruh Internasional (ILO) melaporkan bahwa dalam tujuh tahun mendatang, 3,8 persen dari total jam kerja di seluruh dunia dapat hilang akibat suhu tinggi yang disebabkan krisis iklim. Jumlah tersebut setara dengan 136 juta pekerjaan penuh waktu, dan kerugian ekonomi sebesar 2.400 miliar dolar AS.
Tentu saja, bukan pekerja kantoran yang akan terkena dampak utama. Tetapi pekerja di luar ruangan, petugas tanggap darurat, dan orang-orang yang bekerja di dalam ruangan yang sangat panas.
Bukan hanya panas ekstrem yang harus dihadapi para pekerja. Kualitas udara buruk, serangga pembawa penyakit, banjir dan kebakaran hutan, yang semuanya diperparah oleh krisis iklim, juga akan berdampak signifikan terhadap kemampuan para pekerja dalam menjalankan pekerjaan mereka.
Lantas bagaimana cara krisis iklim berdampak pada pekerjaan dan pekerja? Simak penjelasan berikut seperti dilansir World Economic Forum, Senin (23/10/2023).
1. Krisis iklim mempengaruhi kesehatan pekerja
Terdapat 36 kematian terkait pekerjaan di AS pada tahun 2021 sebagai akibat dari tekanan panas, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja AS. Tidak hanya itu, lebih dari 65 juta pekerja memiliki pekerjaan yang terkait dengan risiko kesehatan terkait iklim, menurut perkiraan organisasi nirlaba KFF.
Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA) telah mengidentifikasi lima dampak kesehatan utama dari krisi iklim. Pertama, gangguan kesehatan yang berhubungan dengan panas. EPA menjelaskan bahwa sengatan panas dan kelelahan akibat panas merupakan bahaya yang jelas bagi pekerja yang terpapar panas yang ekstrem.
Tetapi kelelahan akibat bekerja di suhu panas juga merupakan risiko, karena meningkatkan kemungkinan terjadinya kesalahan, yang pada beberapa pekerjaan dapat menyebabkan cedera atau kematian.
Kedua, berkembangnya penyakit pernapasan, karena kualitas udara akan memburuk seiring dengan meningkatnya krisis iklim. Pada saat yang sama, kenaikan suhu akan mengubah panjang musim semi dan musim panas, yang pada gilirannya dapat memperburuk masalah seperti demam dan asma bagi beberapa pekerja di luar ruangan.
Ketiga, dampak kesehatan fisik dan mental. Bagi orang-orang yang berada di garis depan, seperti petugas pemadam kebakaran dan petugas kesehatan, dampak fisik dan psikologis dalam menghadapi dampak dari peristiwa cuaca ekstrem kemungkinan besar akan sangat berat.
Keempat adalah timbulnya infeksi baru yang lebih berbahaya sebagai akibat dari peningkatan jumlah serangga. Lalu kelima, dampak terkait pestisida yang akan berdampak pada pekerja pertanian yang terpapar bahan kimia beracun.
2. Krisis iklim menyebabkan penurunan produktivitas
Studi menunjukkan bahwa produktivitas kerja melambat ketika suhu di atas 24-26 derajat Celcius. Adapun pada suhu 33-34 derajat celcius, tingkat produktivitas dapat berkurang setengahnya pada pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja manual, demikian menurut ILO.
Jika bukan panas yang berdampak pada produktivitas, dampak terkait iklim lainnya akan dirasakan oleh para pekerja. Misalnya polusi udara yang memperburuk kondisi kesehatan yang sudah ada, memburuknya kesehatan mental yang disebabkan oleh stres akibat cuaca ekstrem dan penyakit akibat peningkatan penyakit terkait hama.
Tak pelak lagi, hal ini akan berdampak paling besar pada negara-negara Selatan dan berpenghasilan rendah. Menurut studi yang diterbitkan di The Lancet, Afrika Sub-Sahara, Asia Selatan, dan Asia Tenggara memiliki risiko tertinggi untuk mengalami penurunan produktivitas tenaga kerja akibat krisis iklim.
3. Krisis iklim berdampak pada pekerjaan
Peristiwa cuaca ekstrem seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan angin topan akan merusak aset bisnis, rute transportasi dan infrastruktur industri dan pertanian, sehingga menyebabkan hilangnya pekerjaan.
Menurut perusahaan konsultan risiko komersial AON, kejadian-kejadian yang berkaitan dengan perubahan iklim akan merugikan ekonomi global sebesar 133 miliar dolar AS pada tahun 2022, dimana angka tersebut 4 persen di atas rata-rata abad ke-21.
“Namun, ada beberapa berita positif. Transisi global menuju energi berkelanjutan, serta adaptasi perubahan iklim, diharapkan dapat menjadi pencipta lapangan kerja bersih,” demikian menurut laporan Future of Jobs dari World Economic Forum.