From The River to The Sea dan Maknanya Bagi Palestina

'From The River to The Sea, Palestine Will Be Free'

Antara/Prasetia Fauzani
Slogan 'From river to the sea, Palestine will be free' menggema dalam aksi solidaritas untuk Palestina di seluruh dunia.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Slogan 'from the river to the sea, Palestine will be free' atau 'dari sungai hingga laut, Palestina akan merdeka' menggema dalam aksi solidaritas untuk Palestina di seluruh dunia. Slogan tersebut telah beredar selama beberapa dekade di kalangan warga Palestina dan aktivis pro-Palestina.

Slogan ini mengacu pada pembebasan wilayah yang berada di antara sungai Yordan dan Laut Mediterania di wilayah bersejarah Palestina. Namun banyak warga Israel dan pendukung Israel mengklaim bahwa slogan tersebut secara efektif menyerukan genosida dan menyiratkan kehancuran Israel.

Pada pertengahan Oktober, polisi di Wina melarang protes pro-Palestina atas dasar slogan tersebut. Polisi mengklaim slogan tersebut merupakan seruan untuk melakukan kekerasan.

Sementara Polisi Metropolitan London mengatakan, mereka tidak akan menangkap pengunjuk rasa yang meneriakkan slogan tersebut pada protes pro-Palestina akhir pekan lalu. Namun menteri dalam negeri Inggris telah secara terbuka menyatakan, polisi harus turun tangan, karena slogan tersebut adalah sebuah ekspresi dari keinginan yang kuat untuk menghapus Israel dari dunia.

Asal usul frasa ini berasal dari perdebatan awal mengenai partisi pada 1940-an. Ketika Kerajaan Inggris mengakhiri mandatnya untuk mengendalikan Palestina yang bersejarah, PBB  mengusulkan pembagian wilayah tersebut menjadi negara-negara Yahudi dan Palestina.

Rencana ini akan menjadikan 62 persen wilayah berada di bawah kendali Israel. Namun rencana tersebut ditolak keras oleh para pemimpin Arab pada saat itu.  Setelah penarikan pasukan Inggris, perang pun pecah, hingga menyebabkan lebih dari 700.000 warga Palestina terusir dari rumah mereka dalam peristiwa yang dikenal sebagai Nakba, atau "bencana".

Setelah perang, Negara Israel dideklarasikan, sedangkan Tepi Barat tetap berada di bawah kendali Yordania, sementara Mesir menguasai Jalur Gaza.  Setelah perang pada 1967, wilayah-wilayah ini berada di bawah pendudukan Israel.

Sejak pembentukan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) oleh diaspora warga Palestina pada 1964, posisi terhadap kebangsaan Palestina dan Israel telah berubah berkali-kali. Hingga 1988, posisi resmi PLO adalah menyerukan pembentukan satu negara yaitu Palestina yang merdeka dan mencakup seluruh wilayah bersejarahnya.

Dalam piagamnya pada 1964, PLO mengatakan negara ini akan menjadi tanah air Arab yang terikat oleh ikatan nasional yang kuat dengan negara-negara Arab lainnya dan bersama-sama membentuk tanah air Arab yang luas. Mereka juga mengecam Zionisme sebagai gerakan kolonialis.

Piagam tersebut juga menyatakan bahwa, orang Yahudi asal Palestina dianggap sebagai orang Palestina jika mereka bersedia hidup damai dan setia di Palestina. Namun, pada  1970-an, kepemimpinan PLO secara bertahap mengubah pendiriannya, dan pada 1988 secara resmi mengadopsi prinsip solusi dua negara.

Sikap ini telah ditolak oleh faksi-faksi Palestina lainnya, termasuk Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) yang berhaluan kiri, yang menganjurkan negara sosialis sekuler untuk semua penduduk Palestina yang bersejarah, dan gerakan Hamas, yang menyerukan negara Islam.

Sejak 1993, posisi resmi sebagian besar komunitas internasional sejalan dengan PLO yang menyerukan pembentukan negara Palestina di wilayah yang diduduki selama perang 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

Baca Juga


Meskipun didukung oleh banyak warga Palestina, prospek pembentukan negara Palestina yang hanya mencakup 22 persen wilayah bersejarah Palestina telah dilihat oleh banyak orang sebagai ketidakadilan bersejarah. Akademisi Edward Said menggambarkannya sebagai “kapitulasi” oleh PLO.

Mengapa slogan ini kontroversial?


Para pendukung Israel berpendapat bahwa mempertahankan negara mayoritas Yahudi diperlukan untuk keamanan Yahudi setelah Holocaust. Mereka berpendapat, pembentukan negara sekuler berisiko melemahkan hal ini.

Saat menulis untuk majalah Yahudi Forward pada 2018, sejarawan Maha Nassar menyatakan, tidak pernah ada posisi resmi Palestina yang menyerukan pengusiran paksa orang-orang Yahudi dari Palestina. Menurutnya slogan tersebut tidak pernah bermaksud demikian.

“Ini adalah bagian dari seruan yang lebih besar untuk mewujudkan negara demokrasi sekuler yang didirikan di seluruh wilayah bersejarah Palestina. Palestina berharap negaranya bebas dari segala bentuk penindasan, baik dari rezim Israel maupun Arab," ujar Nassar, dilansir Middle East Eye.

Nassar mengatakan, banyak warga Palestina berpikir bahwa  dalam satu negara demokratis, banyak warga Yahudi Israel akan secara sukarela pergi, seperti yang dilakukan pemukim Perancis di Aljazair ketika negara tersebut memperoleh kemerdekaannya dari Perancis. “Keyakinan mereka berasal dari konteks anti-kolonial di mana gerakan pembebasan Palestina muncul," ujar Nasser.

Beberapa orang mengklaim bahwa terminologi tersebut mengandung maksud genosida.  Pada tahun 1966, pemimpin Suriah, Hafez al-Assad mengecam perebutan tanah oleh penjajah Israel.

“Kami hanya akan menerima perang dan pemulihan tanah yang direbut untuk mengusir Anda, para agresor, dan membuang Anda ke laut selamanya," ujar al-Assad.

Sementara Hamas mengatakan, slogan tersebut merupakan penolakan mereka terhadap Israel. “Hamas menolak alternatif apa pun selain pembebasan penuh dan menyeluruh Palestina, dari sungai hingga laut,” kata konstitusi Hamas pada 2017.

Pada  2021, penulis Palestina-Amerika, Yousef Munayyer berargumen, mereka yang melihat frasa tersebut memiliki ambisi genosida, atau bahkan keinginan yang jelas untuk menghancurkan Israel. Namun menurutnya, slogan 'dari sungai ke laut' ini hanyalah sebuah cara untuk mengekspresikan keinginan warga Palestina hidup di negara yang merdeka.

"(Ini adalah ekspresi keinginan) warga Palestina untuk dapat hidup di tanah air mereka sebagai warga negara yang bebas dan setara, tidak didominasi oleh orang lain atau orang yang mendominasi mereka," ujar Munayyer, dilansir The Guardian, Selasa (31/10/2023).

Piagam pendirian partai Likud yang dipimpin Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengecam slogan 'dari sungai ke laut' yang kerap digaungkan warga Palestina. Netanyahu kemudian mengklaim, antara laut dan sungai Yordan hanya akan ada kedaulatan Israel.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler