Genosida Gaza dan Melambungnya Kesadaran Boikot Israel
Gerakan BDS terhadap Israel sudah lahir jauh sebelum pecahnya perang terbaru di Gaza
REPUBLIKA.CO.ID, Selama sebulan terakhir, seruan untuk memboikot produk-produk Israel, termasuk perusahaan-perusahaan yang mendukung aksi militer negara tersebut di Jalur Gaza, merebak di berbagai platform media sosial, terutama X (Twitter). Seruan itu mencuat seiring kian brutalnya agresi tanpa pandang bulu Israel ke Gaza, wilayah yang telah diblokadenya selama 16 tahun terakhir. Dalam sebulan agresinya (7 Oktober-7 November 2023), Israel telah membunuh lebih dari 10 ribu warga Gaza, termasuk di dalamnya 4.200 anak-anak.
Khusus di Indonesia, perang terbaru Hamas dengan Israel yang dimulai sejak 7 Oktober 2023, telah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya gerakan boikot Israel untuk membantu rakyat Palestina. Mereka pun mulai familiar dengan istilah boikot, divestasi, sanksi (BDS).
Pada 30 Oktober 2023, akun X Gerakan BDS di Indonesia (@GerakanBDS_ID) sempat mengunggah identitas sejumlah perusahaan yang perlu menjadi sasaran boikot karena mendukung Israel. Perusahaan seperti Starbucks, McDonald’s, Domino’s Pizza, Pizza Hut, Burger King, HP, Puma, dan Carrefour termasuk di dalam daftar.
Banyak warganet di Indonesia yang mendukung gerakan boikot Israel kemudian menggencarkan ajakan agar beralih menggunakan atau membeli produk lokal. Selain akan membantu masyarakat Palestina, langkah itu dipandang bakal memberi angin segar bagi para pelaku UMKM Tanah Air.
Akar Gerakan BDS
Gerakan BDS terhadap Israel sudah lahir jauh sebelum pecahnya perang terbaru Hamas-Israel pada 7 Oktober 2023 lalu. Gerakan BDS tercetus pada Juli 2005 dan dikoordinasikan oleh Palestinian BDS National Committee (BNC). Ketika kampanye BDS pertama kali diluncurkan, terdapat lebih dari 170 organisasi non-pemerintah Palestina yang berpartisipasi di dalamnya.
Lewat situs resminya bdsmovement.net, BNC menjelaskan bahwa para penandatangan seruan BDS mewakili tiga komponen utama rakyat Palestina. Mereka adalah para pengungsi di pengasingan, warga Palestina yang tinggal di bawah pendudukan di Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan warga Palestina yang didiskriminasi di negara Israel.
“Upaya untuk mengkoordinasikan kampanye BDS, yang mulai berkembang pesat sejak seruan tersebut diumumkan pada tahun 2005, mencapai puncaknya pada Konferensi BDS Palestina pertama yang diadakan di Ramallah pada bulan November 2007. Dari konferensi ini muncullah Komite Nasional BDS (BNC) sebagai badan koordinasi Palestina untuk kampanye BDS di seluruh dunia,” tulis BNC di situs bdsmovement.net.
BDS terinspirasi oleh gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan. Tujuan utama kampanye BDS adalah memberi tekanan kepada Israel agar mengakhiri pendudukannya atas Palestina. Jalur pertama yang ditempuh adalah melalui boikot, yakni melibatkan penarikan dukungan terhadap Israel dan perusahaannya yang terbukti melakukan pelanggaran HAM terhadap rakyat Palestina. Lembaga olahraga, budaya, kesenian, serta akademik Israel turut menjadi sasaran kampanye pemboikotan.
Jalur kedua adalah divestasi, yakni mendesak bank, dewan lokal, termasuk universitas, untuk menarik investasinya dari semua perusahaan Israel, termasuk perusahaan-perusahaan internasional yang terlibat dalam pelanggaran HAM terhadap rakyat Palestina. Sementara sanksi merupakan kampanye yang bertujuan mendesak pemerintah memenuhi kewajiban hukumnya untuk meminta pertanggungjawaban Israel. Dalam hal ini, para aktivis BDS juga akan menuntut pemerintah masing-masing agar mengakhiri transaksi perdagangan dengan Israel.
Terdapat tiga tujuan utama dari gerakan non-kekerasan BDS....
Pertama adalah mengakhiri pendudukan dan penjajahan Israel atas semua tanah Arab. “Hukum internasional mengakui Tepi Barat termasuk Yerusalem Timur, Gaza, dan Dataran Tinggi Golan Suriah diduduki oleh Israel. Sebagai bagian dari pendudukan militernya, Israel mencuri tanah dan memaksa warga Palestina masuk ke dalam ghetto, dikelilingi oleh pos pemeriksaan, pemukiman dan menara pengawas, serta tembok apartheid ilegal. Israel telah memberlakukan pengepungan abad pertengahan di Gaza, mengubahnya menjadi penjara udara terbuka terbesar di dunia,” tulis BDS di situsnya.
Tujuan kedua adalah mendesak Israel mengakui hak-hak dasar warga Arab-Palestina di Israel dengan kesetaraan penuh. Seperlima warga Israel adalah warga Palestina yang tetap berada di dalam garis gencatan senjata setelah perang tahun 1948. “Mereka menjadi sasaran sistem diskriminasi rasial yang diabadikan dalam lebih dari 50 undang-undang yang berdampak pada setiap aspek kehidupan mereka. Pemerintah Israel terus menggusur paksa komunitas Palestina di Israel dari tanah mereka. Para pemimpin Israel secara rutin dan terbuka menghasut kekerasan rasial terhadap mereka,” tulis BDS.
Tujuan terakhir adalah memajukan hak-hak pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah mereka sebagaimana diatur dalam resolusi PBB 194. Menurut BDS, sejak Israel berdiri pada 1948, banyak warga Palestina terbunuh dan terusir dari tanahnya. “Akibat pemindahan paksa yang sistematis ini, kini ada lebih dari 7,25 juta pengungsi Palestina. Hak mereka untuk kembali ke rumah mereka ditolak hanya karena mereka bukan orang Yahudi,” katanya.
Saat ini BDS telah menjadi gerakan yang cukup populer dan mendunia. Tokoh-tokoh seperti musisi kawakan sekaligus pendiri band rock Pink Floyd Roger Waters, penulis Kanada Naomi A. Klein, filsuf Amerika Judith Pamela Butler, mendiang Uskup Agung Desmond Tutu, dan sejumlah tokoh lainnya telah menjadi pendukung gerakan BDS.
Seberapa Efektif BDS?
Pertanyaan tentang apakah BDS efektif dalam memukul perekonomian Israel selalu muncul. Bahkan dalam lini massa X baru-baru ini, tak sedikit warganet Indonesia yang memperdebatkan hal tersebut. Sebagian menilai BDS memiliki dampak langsung terhadap Israel, sedangkan sebagian lainnya memiliki pandangan berlawanan.
Aljazirah, dalam laporannya pada Maret 2018, pernah menyebut bahwa BDS berpotensi merugikan Israel hingga 11,5 miliar dolar AS per tahun. Angka itu didasarkan pada laporan Pemerintah Israel pada 2013 yang memperhitungkan skenario paling ekstrem berupa boikot besar-besaran oleh Uni Eropa terhadap produk Israel dan penghentian investasi.
Sejumlah pihak menilai, skenario boikot besar-besaran dan penghentian investasi oleh Uni Eropa tampaknya tidak mungkin terjadi. Namun hal tersebut tetap saja membuat para pemimpin Israel khawatir. Pada November 2019, pengadilan tinggi Uni Eropa telah memutuskan bahwa semua produk makanan yang diproduksi di wilayah pendudukan Palestina harus diberi label khusus. Hal itu agar masyarakat Benua Biru dapat mengetahui secara pasti di mana produk-produk yang mereka konsumsi diproduksi.
Menurut pengadilan tinggi Uni Eropa, selama ini banyak produk yang memasuki benua tersebut dikemas dengan keterangan dibuat di Israel. Padahal sebenarnya barang-barang itu diproduksi di wilayah pendudukan Palestina. Hal itu dipandang menyesatkan konsumen. Uni Eropa adalah salah satu pihak yang vocal menentang perluasan permukiman ilegal Israel di wilayah Palestina.
Bank Dunia sempat merekam penurunan tajam dalam ekspor Israel antara 2014 hingga 2016. Nilai kerugiannya sekitar 6 miliar dolar AS. Pada periode yang sama, investasi asing meningkat menjadi sekitar 12 miliar dolar AS setelah turun ke angka 6 miliar dolar AS pasca serangan Israel ke Gaza pada 2014, yang menewaskan 1.462 warga sipil
Sementara itu Brookings Institution yang berbasis di Washington mengklaim aksi pemboikotan tidak akan berdampak drastis terhadap ekonomi Israel. Hal itu karena 40 persen ekspor Israel adalah barang “intermediate” atau barang setengah jadi. Artinya barang tersebut digunakan dalam proses produksi barang lain yang diproduksi di tempat lain seperti semikonduktor. Data terkait hal ini turut tercantum di situs World Integrated Trade Solution milik Bank Dunia. Sekitar 50 persen ekspor Israel adalah barang-barang yang “dibedakan”, yaitu barang-barang yang tidak dapat digantikan seperti cip komputer khusus.
Dengan fakta tersebut, tampak bahwa Israel cukup terintegrasi dalam rantai nilai global. Perusahaan-perusahaan di seluruh dunia – dan bukan hanya masyarakat biasa – mengimpor barang-barang itu. Barang-barang setengah jadi juga lebih sulit untuk dijadikan sasaran boikot. Sebab banyak dari barang-barang tersebut tidak terlihat oleh konsumen rata-rata, dan “tersembunyi” dalam proses produksi suatu produk di negara lain.
Kendati demikian, bukan berarti aksi boikot sama sekali tak memberikan ancaman kepada Israel. Meski sebagian besar produk yang diekspor Israel kemungkinan besar sulit diboikot secara efektif, tapi secara teori masih ada sebagian produk lainnya yang tetap bisa menjadi sasaran boikot. Mereka mencakup pariwisata, beberapa produk pertanian, manufaktur non-kompleks, dan mungkin juga beberapa ekspor jasa. Boikot budaya, kesenian, dan akademis juga bisa berdampak. Walaupun sebagian besar dari boikot tersebut secara tidak proporsional turut menyasar warga Israel yang mungkin menentang kebijakan pemerintah mereka.