Pakar: Fundamental Ekonomi Indonesia Kuat Tahan Pelemahan Rupiah
Inflasi masih terkendali, pertumbuhan ekonomi juga tumbuh di atas peers.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pasar uang Ariston Tjendra mengatakan fundamental ekonomi Indonesia yang kuat menahan laju pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Rupiah sangat rentan dengan faktor eksternal. Untungnya, fundamental ekonomi Indonesia masih cukup solid, inflasi masih terkendali dan ekonomi masih tumbuh di atas rata-rata perekonomian lainnya sehingga bisa menahan pelemahan rupiah tidak terlalu dalam," kata Ariston kepada Antara di Jakarta, Kamis (9/11/2023).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi indeks harga konsumen (IHK) Oktober 2023 tercatat sebesar 2,56 persen secara year on year (yoy). Inflasi tersebut tetap terjaga dalam kisaran sasaran tiga plus minus satu persen.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap solid di tengah ketidakpastian perekonomian global. Ekonomi Indonesia kuartal III 2023 tetap tumbuh kuat sebesar 4,94 persen (yoy), meskipun sedikit melambat dari pertumbuhan pada kuartal sebelumnya yang sebesar 5,17 persen (yoy).
Selain itu, neraca perdagangan Indonesia juga berlanjut mencatatkan surplus pada kuartal III-2023 sebesar 7,8 miliar dolar AS sehingga menopang prospek transaksi berjalan tetap sehat. Bank Indonesia menyatakan ketahanan likuiditas perbankan tetap terjaga ditopang dengan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 6,54 persen (yoy) pada September 2023.
Meski demikian, Ariston menuturkan karena ekonomi Indonesia juga berhubungan dengan ekonomi global, tentu perlambatan ekonomi global bisa memberikan imbas negatif ke perekonomian dalam negeri yang bisa memberikan tekanan ke rupiah.
"Belum lagi, isu konflik geopolitik yang masih berlangsung dan mungkin saja ada konflik baru ke depannya yang mendorong pelaku pasar masuk ke aset aman di dolar AS," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) sekaligus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang tercatat sebesar 2,34 persen (year-to-date/ytd) saat ini relatif lebih baik dibandingkan depresiasi yang dialami oleh mata uang negara lain.
Peningkatan indeks dolar atau DXY memberikan tekanan terhadap mata uang utama, seperti yen Jepang dan dolar Australia yang masing-masing tercatat melemah 12,61 persen dan 6,27 persen ytd.
"Yen Jepang dan Dolar Australia yang melemah masing-masing 12,61 persen dan 6,72 persen ytd, serta depresiasi mata uang kawasan, seperti ringgit Malaysia dan baht Thailand masing-masing 7,82 persen dan 4,39 persen ytd," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers KSSK di Jakarta, Jumat (3/11).
Oleh karena itu, Sri Mulyani mengatakan ke depan, langkah stabilisasi nilai tukar rupiah akan terus diperkuat sejalan dengan nilai fundamentalnya.
Selain itu, upaya lain juga akan terus dilakukan dengan meningkatkan manajemen likuiditas institusi keuangan, menarik aliran portfolio asing, serta memperluas rangka implementasi devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA). Hal itu sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023.
Adapun nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Kamis pagi (9/11) melemah sebesar 0,01 persen atau 1 poin menjadi Rp 15.651 per dolar AS dari sebelumnya Rp 15.650 per dolar AS.