BRIN Gelar Webinar Transisi Energi Berkelanjutan, Fokus Tingkatkan Akses Energi Hijau
Webinar digelar sebagai upaya dukung komitmen Indonesia wujudkan target EBT 2030
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Teknologi Industri Proses dan Manufaktur menyelenggarakan Webinar Energi Hijau dan Reduksi Emisi Karbon dengan topik Teknologi dan Strategi Untuk Menuju Transisi Energi Yang Berkelanjutan yang digelar secara hybrid.
Selama beberapa dekade terakhir, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan iklim dengan mendorong produksi energi ramah lingkungan melalui sumber energi terbarukan dan tidak terbarukan. Namun, aksesibilitas energi ramah lingkungan yang berkorelasi dengan biaya yang terjangkau dan sumber yang berkelanjutan masih menjadi tantangan.
Berbagai kegiatan penelitian telah dilakukan pada berbagai topik, sehingga menghasilkan pengembangan teknologi inovatif untuk meningkatkan akses terhadap energi hijau. Di era saat ini, tantangan penggunaan energi ramah lingkungan sudah tidak bisa ditawar lagi. Oleh karena itu, upaya penggunaan teknologi yang berorientasi pada pengurangan emisi karbon harus diupayakan dengan menggunakan sumber energi berkelanjutan yang tidak menghasilkan emisi karbon.
Kepala Organisasi Riset Energi dan Manufaktur Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Haznan Abimanyu mengatakan, tema ini sesuai dengan upaya pemerintah dan merupakan momentum yang tepat untuk melanjutkan komitmen Indonesia dalam mewujudkan target Energi Baru Terbarukan (EBT) pada tahun 2023 dan Net Zero Emission pada tahun 2060.
“Dari sisi demand, apabila kita melihat kebutuhan energi di Indonesia, diprediksi akan terus meningkat seiring penambahan populasi, perubahan gaya hidup serta pertumbuhan ekonomi. Permasalahan energi tersebut secara sederhana dapat dibagi dalam dua bidang besar yakni ketenagalistrikan dan bahan bakar. Ketenagalistrikan ditandai oleh dominasi batubara dan penyediaan bahan bakar yang didominasi oleh minyak bumi (fossil)”, ungkap Haznan.
Sementara itu, Ketua Kelompok Riset Green Fuel sekaligus Perekayasa Ahli Utama Unggul Priyanto mengatakan penggantian sumber energi fossil jelas bukan perkara mudah karena selama ini di sektor transportasi 94 persen masih mengandalkan minyak bumi dan di sektor Kelistrikan masih menggunakan energi fossil 84 persen dengan penggunaan batubara 62 persen, sedangkan di sektor Rumah tangga penggunaan bahan bakar masih didominasi dengan LPG.
Namun, sesuai dengan komitmen internasional kedepan penggunaan energi fossil terutama batubara harus dikurangi. Oleh karena itu, salah satu langkah penting dalam usaha tersebut adalah melalui peralihan ke sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan seperti biofuel, hidrogen, biomass, dan algae dalam mencapai tujuan ini, tambahnya.
Lebih lanjut Unggul menjelaskan, biofuel yang dihasilkan dari minyak nabati seperti tanaman, merupakan alternatif yang menjanjikan untuk menggantikan bahan bakar fosil. Dengan pengembangan teknologi biofuel yang semakin maju, kita memiliki kesempatan untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan dalam sektor transportasi. Ini bukan hanya tentang pengurangan emisi, tetapi juga tentang memberdayakan petani lokal dan mempromosikan pertanian berkelanjutan.
“Salah satu teknologi pemanfaatan biofuel yang sudah terbukti dipakai di Indonesia adalah biodiesel yang sudah menggantikan peranan solar sampai 35 persen, sehingga selain ramah lingkungan juga bisa mengurangi impor bahan bakar minyak. Kedepan pemanfaatan minyak nabati perlu dilakukan melalui teknologi konversi minyak nabati menjadi green diesel, green gasoline, dan bahkan bio-avtur sehingga penggunaannya selain dalam volume yang bisa mencapai lebih dari 50 persen juga bisa dipakai menggantikan premium dan avtur. Disisi lain, penggunaan minyak nabati seperti sawit juga bisa dipakai untuk meredam kelebihan pasokan akibat hambatan ekspor dari negara negara maju”, ungkap Unggul.
Lalu Hidrogen yang diprediksi sebagai energi bersih dan bahan bakar masa depan, menawarkan potensi luar biasa dalam mengurangi emisi karbon. Teknologi hidrogen hijau, yang memanfaatkan sumber energi terbarukan seperti, hidro, panas bumi, PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) untuk memproduksi hidrogen, menjadi salah satu solusi utama dalam transisi ke energi bersih. Ini adalah langkah besar menuju mobilitas yang berkelanjutan dan industri yang lebih ramah lingkungan, jelasnya.
“Untuk biomass, seperti limbah pertanian dan hutan yang tidak terpakai, dapat menjadi sumber energi yang berkelanjutan melalui proses konversi yang tepat. Dengan memanfaatkan biomass, kita dapat mengurangi sampah organik dan memproduksi bioenergi, mengurangi emisi karbon, dan mendukung pembangunan pedesaan, ungkapnya.
Terakhir untuk potensi algae yang merupakan organisme mikroskopis yang dapat digunakan untuk menghasilkan biofuel dan mengurangi emisi karbon. Algae memiliki keunggulan dalam pertumbuhan yang cepat dan kemampuan untuk mengambil karbon dioksida dari udara, membantu mengatasi dua masalah sekaligus
Namun, diversifikasi sumber energi fossil ke Energi terbarukan tidaklah mudah baik disektor trasportasi maupun pembangkit listrik. Di sektor pembangkit listrik mengurangi peranan energi fossil seperti batubara tidak mudah mengingat penggunaanya sangat besar dan memerlukan kontinyuitas. Untuk mengatasi masalah tersebut sebagai alternatif untuk transisi menuju net zero emission, perlu penggunaan CCUS atau (Carbon Capture Utilization and Storage).