Legislator Minta Netralitas ASN Jadi Perhatian Serius

Legislator meminta Bawaslu mengawasi secara serius soal netralitas ASN di Pemilu 2024

Dok. DPR RI
Anggota DPR RI dari Fraksi PAN Guspardi Gaus. Legislator meminta Bawaslu mengawasi secara serius soal netralitas ASN di Pemilu 2024.
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus mengatakan, netralitas aparatur sipil negara (ASN) selalu menjadi perhatian publik menjelang pemilihan umum (Pemilu). Untuk itu, Guspardi meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk meningkatkan kinerjanya dalam mengawasi hal tersebut.

Baca Juga


"Sehingga, Bawaslu semestinya meningkatkan kinerjanya dalam mengawasi masalah netralitas ASN ini," kata Guspardi dalam keterangannya, Jumat (17/11/2023).

Guspardi memberi contoh ketika ada kepala daerah yang dalam pencalonannya didukung oleh partai politik (parpol). Menurut dia, setelah menjabat, bisa saja ada di antara mereka yang meminta ASN untuk mendukung parpol pendukungnya.

Bahkan bisa jadi, kata dia, ada oknum-oknum ASN yang mungkin memanfaatkan situasi agar dapat promosi jabatan dari kepala daerah yang bersangkutan.

"Makanya peran Bawaslu sebagai pengawas pemilu dalam memantau, menyelidiki dan menegur jika ada indikasi pelanggaran sangat penting sekali. Kapan perlu, menindak sesuai aturan hukum yang berlaku. Supaya, timbul efek jera," ujar politikus PAN itu.

Legislator Dapil Sumatera Barat II itu pun menegaskan, tugas dan wewenang yang Bawaslu miliki sudah sangat jelas. Di mana, salah satu di antaranya adalah melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran pemilu.

Sebab itu, kata Guspardi, dengan segala kewenangannya, Bawaslu sebenarnya punya landasan kuat untuk mengawal, bagaimana ASN itu bisa netral. "Bawaslu harus pro aktif mengawasi sikap dan tindakan dari ASN," kata Guspardi.

Di sisi lain, Guspardi menerangkan, Bawaslu bisa melakukan koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait. Seperti dengan Kemenpan-RB, Kementerian Dalam Negeri, dan kementerian lainnya serta lembaga terkait lainnya.

Untuk itu, Guspardi menegaskan Bawaslu mesti melakukan tindakan preventif dan rajin mengimbau para ASN agar tegak lurus, sesuai aturan yang berlaku. Dia menilai langkah proaktif Bawaslu dalam menyikapi ketidaknetralan ASN adalah sebuah keniscayaan.

“Apalagi jumlah ASN sangat besar dan merupakan tokoh di daerah tempat tinggal mereka. Hendaknya Bawaslu harus secara konsisten dan terus menerus menyuarakan tentang netralitas ASN ini secara berkesinambungan," jelas dia.

Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negera (KASN) Arie Budhiman menyebutkan, berdasarkan hasil pengawasan KASN periode 2020-2023, sebanyak 70 persen dari ASN dengan jabatan fungsional yang melanggar netralitas berprofesi sebagai tenaga pendidik. Ada sejumlah faktor yang mendorong guru dan dosen melakukan pelanggaran netralitas tersebut.

“Pertama, faktor ikatan persaudaraan antara guru dan dosen dengan calon peserta pemilu dan pemilihan. Kedua, adanya kepentingan pragmatis pada sebagian kalangan guru untuk berpindah ke jabatan struktural tertentu,” ujar Arie dikutip dari laman KASN, Selasa (1/8/2023).

Sementara, di kalangan dosen, kata dia, ada keinginan untuk mendapatkan posisi pada struktural kampus atau jabatan lain yang tersedia di luar kampus, baik pada struktur pemerintahan maupun swasta. Menurut dia, para dosen sepatutnya menjadikan keahlian yang dimiliki untuk menjadi sumber substansi gagasan dan pijakan kajian bagi para politisi.

“Sehingga siapa pun yang menang, substansi gagasan akan diterjemahkan menjadi kebijakan publik. Karena itu, dosen tidak perlu menjadi tim sukses politisi tertentu. Para tenaga pendidik, baik guru atau dosen, tidak dibenarkan menjadi bagian dari dewan pakar atau tim pemenangan peserta pemilu dan pemilihan," kata dia.

Secara lengkap, berdasarkan hasil pengawasan KASN periode 2020-2023, sebanyak 1.596 ASN terbukti melanggar dengan 533 ASN atau 26,5 persen, di antaranya adalah ASN dengan jabatan fungsional. Dari total 533 ASN pelanggar pada jabatan fungsional, sejumlah 373 ASN atau 70 persen di antaranya berprofesi sebagai tenaga pendidik, yang terdiri atas dosen dan guru.

Adapun jenis pelanggaran yang banyak dilakukan adalah kampanye atau sosialisasi media sosial melalui unggahan, komenter, membagikan, atau menyukai sebesar 34,9 persen; mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan sebesar 27,8 persen; foto bersama bakal calon atau pasangan calon 14,5 persen; dan menjadi peserta kampanye dengan memakai atribut partai, atribut PNS, atau tanpa atribut 4,5 persen.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler