Penelitian: Daur Ulang tidak Mampu Kurangi Sampah Plastik

Solusi sampah plastik bisa dilakukan dengan mengurangi produksi plastik baru.

Tahta Aidilla/Republika
Hasil penelitian PBB menunjukkan bahwa daur ulang tidak bisa kurangi sampah plastik.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sampah plastik ada di mana-mana. Setiap tahun, sekitar 400 juta metrik ton sampah plastik berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) dan tempat-tempat seperti lautan, sungai, serta garis pantai. Sampah-sampah tersebut terurai menjadi potongan-potongan kecil atau mikroplastik yang kemudian masuk ke setiap sudut lingkungan bahkan ke dalam tubuh manusia.

Baca Juga


Guna mengatasi masalah ini, sejak tahun lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membuat perjanjian yang mengikat secara hukum. Dan pekan ini (13-19 November), para negosiator dari sekitar 150 negara berkumpul untuk membahas rincian perjanjian tersebut dalam Sesi Ketiga Komite Negosiasi Antarpemerintah yang digelar di Markas Besar Program Lingkungan (UNEP) PBB di Nairobi, Kenya.

Kelompok lain yang ikut berpartisipasi dalam sesi itu termasuk advokat kesehatan masyarakat, aktivis hak asasi manusia, aktivis lingkungan, dan industri minyak dan gas. Perusahaan minyak dan gas raksasa seperti ExxonMobil, Chevron, TotalEnergies, serta negara-negara penghasil minyak seperti Arab Saudi, Rusia dan China, juga ikut berpartisipasi. Para pengembang minyak dan gas tersebut mendorong pesan yang sama yakni masalah polusi plastik dapat diselesaikan melalui daur ulang dan bentuk pengelolaan limbah lainnya, alih-alih mengurangi produksi plastik baru.

Sayangnya, berbagai penelitian dan investigasi selama bertahun-tahun termasuk oleh NPR, telah menunjukkan bahwa daur ulang tidak mampu mengurangi sampah plastik. “Mengurangi jumlah plastik baru yang dibuat merupakan prasyarat untuk mengendalikan polusi,” kata Carsten Wachholz, yang bekerja di Ellen MacArthur Foundation dan ikut memimpin Koalisi Bisnis untuk Global Plastics Treaty.

Karena itu, tantangan besar dalam negosiasi PBB kali ini adalah menghasilkan rencana yang efektif dalam mengurangi sampah plastik, dan juga mendapat dukungan dari semua negara yang terlibat. Akan tetapi menurut Wachholz, skenario terburuknya adalah beberapa negara dan perusahaan penghasil minyak dan gas akan memperjuangkan solusi yang menguntungkan bagi mereka. 

 

Plastik sangat krusial bagi produsen bahan bakar fosil

Plastik ada di setiap aspek kehidupan modern, mulai dari pembungkus makanan, popok sekali pakai, hingga peralatan medis. Produksi plastik diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2060, sementara jumlah limbah yang dibuang ke lingkungan terus meningkat.

Perusahaan minyak dan gas melihat sektor petrokimia yang mencakup plastik, sebagai sektor yang sangat penting bagi keuntungan mereka. Seiring dengan semakin populernya teknologi ramah lingkungan seperti kendaraan listrik, sektor minyak dan gas menghadapi masa depan dengan penurunan permintaan produk seperti bensin dan solar, yang diperkirakan akan mencapai puncaknya pada akhir dekade ini.

Namun, permintaan minyak dan gas untuk petrokimia akan terus meningkat selama bertahun-tahun, menurut Wood Mackenzie, sebuah perusahaan riset dan konsultasi. “Meningkatnya produksi petrokimia membuat permintaan minyak tetap tinggi," kata Alan Gelder, wakil presiden penyulingan, bahan kimia, dan oil markets di Wood Mackenzie seperti dilansir NPR, Senin (20/11/2023).

Itulah salah satu alasan utama mengapa industri bahan bakar fosil memiliki andil besar dalam hasil negosiasi. Jika negara-negara menyetujui pemangkasan besar-besaran dalam produksi plastik, maka hal ini dapat menjadi pukulan bagi keuntungan industri ini di masa depan.

Namun, industri ini juga berupaya memengaruhi perjanjian dan persepsi publik yang lebih luas. Salah satu organisasi tersebut adalah kelompok advokasi industri yang disebut American Fuel & Petrochemical Manufacturers. Pada musim panas ini, mereka mengatakan kepada komite PBB yang memimpin negosiasi bahwa mereka menentang pembatasan produksi plastik. Sebaliknya, mereka ingin negara-negara fokus pada daur ulang.

Perusahaan minyak dan gas telah menghabiskan beberapa dekade untuk menggembar-gemborkan daur ulang sebagai solusi masalah sampah plastik. Namun, berbagai laporan mengungkap bahwa daur ulang tidak akan mencegah sampah menumpuk di tempat pembuangan sampah dan lingkungan.

Masalahnya adalah membuat plastik baru hampir selalu lebih murah daripada mengumpulkan dan mendaur ulang plastik bekas. Mendaur ulang plastik juga membutuhkan banyak energi, dan beberapa sampah plastik tidak dapat didaur ulang sama sekali, demikian menurut Bethanie Carney Almroth, seorang profesor ekotoksikologi di Gothenburg University di Swedia.

Di sisi lain, pendatang baru di industri plastik menawarkan solusi terbaru untuk membersihkan sampah. Verra adalah lembaga nirlaba di Washington AS, yang juga memberikan sertifikasi carbon credit atau offset terbesar di dunia. Verra kini ikut serta dalam negosiasi plastik. Beberapa tahun yang lalu, Verra ikut mendirikan Inisiatif 3R, yang anggotanya termasuk produsen makanan Danone dan Nestle, pengguna utama kemasan plastik. Kelompok ini mempromosikan sesuatu yang disebut plastic credits.

Plastic Credits akan bekerja seperti carbon credits. Perusahaan dapat membantu membiayai proyek-proyek yang mendaur ulang plastik atau meningkatkan pengumpulan sampah dengan imbalan kredit. Kredit tersebut kemudian dapat digunakan untuk membantu perusahaan memenuhi janji perusahaan untuk mengurangi sampah plastik.

Para pendukung plastic credits mengatakan bahwa sebagian besar nilainya berasal dari membuat lebih menarik untuk memungut sampah. Jika kelompok-kelompok dapat menjual kredit berdasarkan jumlah sampah plastik yang mereka kumpulkan atau daur ulang, maka sampah dapat menjadi komoditas yang berharga. Hal ini, pada gilirannya, akan mendorong lebih banyak pengumpulan dan daur ulang sehingga kelompok-kelompok tersebut akan memiliki lebih banyak kredit plastik untuk dijual.

Joel Finkelstein, juru bicara Verra, mengatakan bahwa mengurangi produksi plastik baru itu penting. Tetapi plastic credits akan menyalurkan uang yang sangat dibutuhkan untuk pembersihan sampah.

"Ini tidak seperti ada sejumlah besar uang yang tersedia untuk membersihkannya, bukan? Tujuannya adalah kita dapat mengambil tindakan hari ini,” kata Finkelstein.

Namun, ada kekhawatiran yang membayangi credit plastics dan para pemain yang terlibat di dalamnya. Orellana, rapporteur khusus PBB, mengatakan bahwa credit plastics terlihat seperti upaya perusahaan untuk menghindari peraturan yang kuat dan membatasi produksi plastik baru.

"Ini menandakan upaya, bisa dikatakan, untuk menghindari kontrol yang ketat dan ketentuan yang kuat dalam pengurangan plastik dan sebaliknya mencoba untuk tetap menjalankan bisnis seperti biasa," katanya.

Neil Tangri, direktur sains dan kebijakan di Global Alliance for Incinerator Alternatives, sebuah kelompok keadilan lingkungan, juga khawatir Verra mencoba memprivatisasi hal-hal yang seharusnya ditangani oleh pemerintah yang merundingkan perjanjian tersebut.

“Credit Plastics tidak disebutkan dalam dokumen yang diterbitkan PBB baru-baru ini untuk membantu memandu negosiasi. Tetapi tidak ada yang menghentikan negara untuk mengusulkannya di kemudian hari," kata Tangri.

Bagaimanapun, para aktivis mendorong negosiasi terkait plastik yang dipimpin PBB dapat membuahkan kesepakatan yang berpihak pada keberlangsungan lingkungan yang berkelanjutan, dan tidak memihak keuntungan segelintir perusahaan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler