Pejabat AS Dilaporkan Mulai Frustrasi dengan Kegilaan Israel di Gaza
Pemerintahan Biden tidak lagi sependapat dengan pemerintahan Netanyahu
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Para pejabat Amerika Serikat (AS) menjadi semakin frustrasi terhadap tindakan militer dan kepemimpinan Israel yang menargetkan warga sipil di Gaza. Kekhawatiran ini terlihat jelas dalam panggilan telepon dan pertemuan selama 40 hari terakhir.
Israel telah melancarkan operasi udara, laut dan darat di seluruh Gaza karena negara tersebut menyatakan ingin menumpas kelompok perlawanan Palestina, Hamas. Sebelumnya Hamas melancarkan serangan mengejutkan pada 7 Oktober, dan menjadi serangan paling mematikan yang pernah terjadi di Israel dalam beberapa dekade. Israel telah memaksa ratusan ribu warga sipil Palestina mengungsi. Israel juga tak segan membunuh atau melukai ribuan warga sipil lainnya, termasuk anak-anak, perempuan, dan lansia.
Sumber yang mengetahui diskusi antara pejabat Amerika dan Israel merujuk pada komentar Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken baru-baru ini sebagai tanda bahwa pemerintahan Biden tidak lagi sependapat dengan pemerintahan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu terkait dengan operasi di Gaza. Hal ini sepertinya tidak akan secara signifikan mengubah kebijakan atau dukungan AS terhadap Israel seperti yang dituntut oleh beberapa anggota Partai Demokrat progresif dalam beberapa hari terakhir.
Blinken mengatakan kepada wartawan, ada banyak hal yang perlu dilakukan untuk melindungi warga sipil di Gaza. Blinken juga mengatakan, terlalu banyak warga Palestina yang terbunuh dalam beberapa minggu setelah serangan 7 Oktober.
Seorang pejabat AS, yang berbicara dengan syarat anonim mengatakan, Blinken menyampaikan dengan sangat jelas kepada pejabat Israel secara pribadi selama dua perjalanannya ke Israel sejak serangan itu. Tanda lain dari perbedaan pandangan AS dan Israel adalah ketika Netanyahu mengklaim bahwa Israel akan memiliki otoritas keamanan atas Gaza jika perang saat ini berakhir. Sementara Blinken mengatakan, Washington menentang pendudukan kembali atau pengepungan apa pun di Gaza setelah perang berakhir.
Pendudukan Israel yang terus berlanjut atas wilayah Palestina dan kekerasan yang dilakukan oleh pemukim Israel di Tepi Barat telah menjadi perdebatan lain yang diangkat oleh Blinken dan pimpinan Pentagon. Pada Kamis (16/11/2023) lalu, Blinken mengatakan kepada seorang anggota kabinet perang Israel, Benny Gantz bahwa pemerintah Netanyahu perlu mengambil langkah-langkah afirmatif untuk meredakan ketegangan di Tepi Barat, termasuk dengan menghadapi meningkatnya tingkat kekerasan ekstremis pemukim.
Amerika Serikat kembali mengirim ribuan tentara dan aset militernya ke Timur Tengah setelah mengurangi kehadirannya dalam beberapa tahun terakhir. Washington juga khawatir dengan kemungkinan terseret ke dalam konflik yang lebih luas di wilayah tersebut. Pasukan Amerika di Irak dan Suriah telah diserang oleh milisi yang didukung Iran kurang dari 60 kali sejak 17 Oktober, dan puluhan anggota militer terluka.
Sebuah kapal perang AS juga telah menembak jatuh sebuah drone yang menurut Pentagon ditembakkan oleh Houthi di Yaman. Sementara itu, drone Amerika Serikat senilai 32 juta dolar AS ditembak jatuh oleh Houthi dua minggu lalu.
Semakin lama perang Gaza berlangsung, maka pasukan AS di wilayah tersebut berisiko diserang. Hal ini juga berarti bahwa aset-aset yang berpotensi diperlukan untuk fokus ancaman Cina dan Rusia tidak akan tersedia.
Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin telah menekan menteri pertahanan Israel mengenai operasi yang dilakukan oleh tentara Israel baru-baru ini, serta kekerasan di Tepi Barat. Al Arabiya English meninjau 21 pembacaan Pentagon mengenai panggilan telepon antara Austin dan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant sejak 7 Oktober. Austin juga melakukan perjalanan ke Israel seminggu setelah serangan Hamas.
Dalam empat pembacaan pertama, ditambah satu pertemuan tambahan antara Austin dan Gallant di Israel, pihak AS tidak menyebutkan perlunya melindungi warga sipil atau mematuhi hukum konflik internasional. Austin mengatakan kepada Gallant tentang pentingnya mematuhi hukum perang, termasuk kewajiban perlindungan warga sipil, dan mengatasi krisis kemanusiaan yang semakin memburuk di Gaza selama panggilan telepon mereka pada 14 Oktober, seminggu setelah Israel melancarkan operasi militernya di Gaza.
Para pejabat AS telah memperhatikan sedikit perubahan dalam operasi Israel baru-baru ini. Direktur Program Pertahanan dan Keamanan di Middle East Institute (MEI) yang berbasis di Washington, Bilal Saab mengatakan, Pentagon tidak akan mendahului Gedung Putih dalam masalah kebijakan.
“Gedung Putih menetapkan kebijakan serta nadanya, dan Pentagon yang melaksanakannya. Jadi, jika Anda tidak menyukai apa yang dilakukan Pentagon, salahkan Gedung Putih, bukan Departemen Pertahanan,” kata Saab kepada Al Arabiya English.
Kecaman internasional mengubah perhitungan di AS...
Pada saat itu, kecaman internasional atas kematian warga sipil mulai mengubah perhitungan di Washington dan menjadi lebih sentral dalam pembicaraan antara pejabat AS dan Israel. Pada 18 Oktober, Amerika memveto resolusi PBB yang mengutuk semua kekerasan terhadap warga sipil dan mendesak gencatan senjata kemanusiaan. AS mengatakan, resolusi tersebut tidak mempunyai bahasa yang cukup kuat untuk menetapkan hak Israel untuk membela diri. Namun, resolusi tersebut mengutuk serangan yang dilakukan Hamas.
Beberapa pejabat AS percaya bahwa keputusan untuk memveto resolusi PBB memberikan Israel rasa impunitas yang lebih besar untuk melakukan apa yang dianggap perlu di Gaza, termasuk mengabaikan meningkatnya jumlah korban jiwa warga sipil. Frustrasi mulai muncul dalam pemerintahan Biden dan Departemen Luar Negeri. Seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri AS mengundurkan diri, dan secara terbuka mengecam sikap pemerintah yang mengabaikan kehidupan manusia di Gaza.
Sementara itu, semakin banyak diplomat yang mempertimbangkan untuk mengundurkan diri, namun banyak diplomat yang belum berani mengambil keputusan untuk mundur karena masalah keuangan. Ketidakmampuan membayar hipotek rumah atau biaya sekolah anak-anak mereka merupakan salah satu kendala yang dihadapi para diplomat dan pejabat yang berpikir untuk mengundurkan diri sebagai bentuk protes.
Dari 16 Oktober – 20 Oktober, warga sipil dan kebutuhan pengiriman bantuan kemanusiaan disorot dalam percakapan telepon antara Austin dan Gallant. Namun pernyataan tersebut berubah pada 21 Oktober ketika Austin menegaskan kembali pentingnya melindungi warga sipil.
Austin terus menghujat Gallant dengan menekankan perlunya melindungi warga sipil selama operasi militer Israel.Sumber yang mengetahui percakapan Austin mengatakan, pemimpin Pentagon itu berterus terang kepada Gallant selama panggilan telepon mereka, dan meminta jawaban spesifik atas pertanyaan tentang operasi militer dan penargetan Israel. Austin juga mengkritik Gallant tentang kekerasan di Tepi Barat yang dilakukan Israel.
Biden menulis sebuah opini pada akhir pekan yang mengancam akan mengeluarkan larangan visa terhadap ekstremis Israel yang menyerang warga sipil di Tepi Barat. Kendati demikian, hal ini tidak menghentikan pemerintahan Biden untuk mengalirkan senjata tambahan ke Israel dan mendorong persetujuan bantuan militer baru senilai miliaran dolar. Bloomberg baru-baru ini melaporkan bahwa Departemen Pertahanan AS terus memenuhi permintaan Israel, antara lain berupa senjata, rudal berpemandu laser, dan amunisi.
Sumber yang mengetahui diskusi tersebut mengatakan bahwa Austin juga menekankan dalam setiap panggilan telepon dengan Gallant tentang perlunya mencegah konflik meningkat di luar Gaza. Hal ini mengacu pada beberapa pejabat Israel yang menyerukan serangan pendahuluan terhadap Hizbullah Lebanon.
Pejabat Dewan Keamanan Nasional juga menghubungi Beirut dan Israel untuk menyatakan bahwa eskalasi apa pun akan berdampak buruk bagi Lebanon serta berdampak negatif yang signifikan terhadap Israel. Para pejabat AS sekarang yakin bahwa mereka mampu menghalangi Hizbullah untuk ikut terlibat. Namun, hal ini dapat berubah tergantung pada medan pertempuran. Seorang penasihat senior Presiden AS Joe Biden melakukan perjalanan ke Israel pada Senin (20/11/2023) untuk mencoba mencegah konflik menyebar ke Lebanon dan wilayah lain di Timur Tengah.