Potensi Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Indonesia

Artikel yang dibuat dengan mempertemukan antara permasalahan sampah dengan kebutuhan akan energi baru dan terbarukan.

retizen /Elsa Aliya Rizqoh
.
Rep: Elsa Aliya Rizqoh Red: Retizen

Tulisan ini dimulai dengan mengulas kembali perihal Hukum Kekekalan Energi yang menyatakan bahwa “energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan”. Hukum Kekekalan Energi ini bermakna bahwa pada hakikatnya tidak ada istilah ‘penciptaan energi’ atau ‘kehabisan energi’ karena eksistensi energi di dunia ini adalah suatu siklus abadi yang terus berputar dengan melibatkan konversi energi dari satu wujud ke wujud lainnya (yang bisa saja kembali lagi ke wujud semula). Perputaran energi ini terjadi pula pada proses manufaktur suatu produk yang menggunakan energi tertentu.


Sebutlah produk yang dimaksud adalah botol plastik. Apabila (dianggap) proses yang terjadi dalam manufaktur botol plastik tersebut adalah minyak bumi --> bijih plastik --> botol plastik, maka dapat pula dianggap seluruh energi yang digunakan pada seluruh proses manufaktur tersebut terakumulasi dalam botol plastik. Maka energi yang telah terakumulasi ini harus digunakan kembali agar siklus energi tetap berputar, sebab bila tidak akumulasi energi ini akan menimbulkan apa yang dikenal sebagai (timbunan) sampah.

Siklus Energi pada Manufaktur Botol Plastik

Pemanfaatan, atau pengembalian energi yang terkandung dalam suatu produk untuk digunakan kembali dapat terjadi dalam Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). PLTSa ini bukan suatu hal baru di Indonesia karena telah berdiri dua PLTSa besar yakni PLTSa Bantar Gebang dan PLTSa Benowo Surabaya. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai dua PLTSa ini terlebih dahulu perlu diketahui dua jenis utama PLTSa yakni jenis Insinerasi dan jenis Gasifikasi (sebetulnya ada bermacam-macam jenis PLTSa akan tetapi baru dua jenis ini yang beroperasi di Indonesia).

Insinerasi dapat dianggap sebagai proses pembakaran sampah raksasa karena volume sampah yang dibakar dapat mencapai ribuan ton! Namun jelas berbeda dari pembakaran sampah di sembarang tempat yang asapnya menimbulkan polusi udara (juga meningkatkan risiko kebakaran), pada proses Insinerasi pembakaran dilakukan di tempat tertutup yang diawasi dengan baik. Panas yang dihasilkan lalu digunakan untuk memanaskan ketel air dan uap yang dihasilkan akan memutar turbin yang kemudian mengalirkan energi listrik. PLTSa jenis ini memiliki kelebihan mudah diaplikasikan, terlebih di Indonesia yang sebagian besar masyarakatnya memiliki kegemaran membakar sampah. Namun hingga saat ini belum ada penelitian yang memastikan bila asap yang dihasilkan 100% bebas polusi udara (meskipun tentu saja ada treatment khusus sebelum dilepas ke udara bebas melalui cerobong).

PLTSa Gasifikasi tidak menghasilkan asap/gas buang karena tidak melibatkan proses pembakaran melainkan plasmaisasi material sampah menggunakan plasma menjadi gas bertekanan yang langsung dialirkan untuk memutar turbin. Meskipun memiliki efisiensi lebih besar dari PLTSa Insinerasi dan tidak menghasilkan polusi, PLTSa ini memerlukan biaya yang lebih besar untuk pengembangannya. Di samping itu sampah yang dimasukkan harus dipastikan benar-benar kering, maka terbatas hanya sampah anorganik saja (itupun yang benar-benar kering atau tidak mengandung air). Sedangkan PLTSa Insinerasi dapat memproses segala jenis sampah dengan segala kondisi.

PLTSa Bantar Gebang (https://www.bppt.go.id/berita-bppt/sudah-95-persen-bppt-siap-rampungkan-pembangkit-listrik-tenaga-sampah-pltsa-bantar-gebang)

Kembali ke soal PLTSa Bantar Gebang dan PLTSa Benowo, PLTSa Bantar Gebang merupakan contoh PLTSa Insinerasi sedangkan PLTSa Benowo merupakan contoh PLTSa Gasifikasi. PLTSa Bantar Gebang dapat memproses 2.000 Ton sampah dan menghasilkan 35 MW daya listrik, sementara itu PLTSa Benowo dapat memproses 1.400-1.500 Ton sampah dan menghasilkan 9 MW daya listrik.

Untuk meningkatkan motivasi pengembangan PLTSa, kita dapat mengambil contoh dari negara anak benua yakni India. India memulai pengembangan PLTSa pada 2006/2007 dengan daya listrik yang dihasilkan 43,45 MW, namun jumlah ini terus meningkat hingga pada akhir tahun 2018 angkanya sudah mencapai 138,3 MW. Meskipun angka ini masih jauh lebih rendah dari angka yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbasis renewable energy lainnya di India, setidaknya perolehan ini sudah menunjukkan keseriusan dan kekonsistenan India dalam mengembangkan PLTSa ini. Apalagi kalau dibandingkan dengan Indonesia yang sampai saat ini (akhir 2023) saja angkanya baru mencapai 44 MW (35+9)!

PLTSa Benowo (https://kominfo.jatimprov.go.id/berita/pltsa-benowo-sumbang-122-04-gwh-energi-bersih-di-jatim)

Dengan melihat penjelasan di atas, tidak mustahil bahwa PLTSa akan menjadi salah satu renewable energy yang sukses dikembangkan di Indonesia. Di samping karena potensinya yang besar, khususnya dalam mengurangi volume sampah, sudah ada contoh PLTSa yang berjalan dengan baik. Maka tinggal menyusun kebijakan untuk mengembangkan PLTSa serupa di daerah-daerah lainnya di Indonesia.

sumber : https://retizen.id/posts/246851/potensi-pengembangan-pembangkit-listrik-tenaga-sampah-pltsa-di-indonesia
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler