Warga Gaza Mendambakan Tidur Nyenyak tanpa Suara Bom

Pengeboman udara dan tembakan artileri Israel yang berlangsung setiap hari

AP Photo/Hatem Moussa
Warga Palestina menyaksikan kehancuran akibat bombardir Israel di Jalur Gaza, Palestina, di Deir al Balah, Rabu (22/11/2023).
Rep: Rizky Jaramaya Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Khaled Loz sudah lelah dengan perang yang telah berlangsung selama lebih dari enam pekan di Gaza. Pengumuman gencatan senjata sementara memberikan angin segar bagi Loz. Dia hanya ingin tidur ketika gencatan senjata mulai berlaku.

“Itu (tidur) adalah hal pertama yang ingin saya lakukan. Saya bosan dengan pengeboman yang terus menerus,” kata Loz, dilaporkan Aljazirah, Kamis (23/11/2023).

Pengeboman udara dan tembakan artileri Israel yang berlangsung setiap hari telah membunuh lebih dari 14.000 warga Palestina di Gaza, termasuk lebih dari 5.600 anak-anak. Sementara diperkirakan 1,7 juta orang dari total 2,3 juta penduduk Gaza telah mengungsi, dan banyak dari mereka berpindah dari wilayah utara Jalur Gaza ke selatan menyusul peringatan dari militer Israel.

Namun pengeboman Israel juga meluas ke Gaza tengah dan selatan, sehingga tidak ada satu pun wilayah yang aman. Kamp pengungsi, sekolah, dan rumah sakit juga ikut diserang. Deklarasi gencatan senjata selama empat hari yang akan segera diberlakukan menjanjikan harapan pertama akan adanya kelonggaran bagi masyarakat Gaza.

“Kita bisa mendapatkan kembali jiwa kita sedikit. Kami ingin menyediakan air untuk rumah kami, kami ingin barang-barang masuk, bukan toko-toko yang kosong dimana kami tidak dapat menemukan apa yang kami butuhkan," kata Loz.

Enas al-Jamalah (12 tahun) dan ribuan orang lainnya mendambakan tidur dengan nyaman. Serngan bertubi-tubi Israel membuat mereka tidur di luar ruangan saat musim dingin tiba di Gaza, dengan suhu turun di malam hari hingga 15 derajat Celsius (59 derajat Fahrenheit).  Al Jamalah hanya ingin pulang ke rumahnya untuk mendapatkan kehangatan.

“Kami hanya ingin menjadi hangat,” kata al-Jamalah.

Kerinduan akan kampung halaman juga dirasakan oleh Fatima Qudayh. Perempuan berusia 37 tahun itu berasal dari Kota Khuza’a. Dia melarikan diri ke dekat Khan Younis di Gaza selatan dua hari setelah perang.

Rumahnya di Khuza’a telah rusak akibat perang tahun 2021, namun Qudayh dan keluarganya telah membangunkembali rumah mereka. Kini, dia tidak tahu apakah rumahnya masih baik-baik saja, rusak atau hancur. Dia berharap bisa berkunjung ke rumahnya setelah gencatan senjata mulai berlaku.

Keenam anak Qudayh hampir tidak bisa tidur sejak perang dimulai. “Setiap malam terjadi pengeboman dimana-mana. Setiap hari, mereka bertanya kepada saya tentang rumah itu. Apakah tidak apa-apa? Apakah mainan mereka baik-baik saja dan kamar mereka baik-baik saja?,” ujarnya.

“Saya katakan pada mereka, saya berdoa semoga mereka baik-baik saja, namun yang paling penting adalah kalian baik-baik saja," kata Qudayh.

Israel dan Hamas menyetujui gencatan senjata empat hari. Gencatan senjata ini menandai terobosan diplomatik besar pertama sejak pertempuran dimulai lebih dari enam minggu lalu.

Baca Juga


 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler