Optimisme Menjadi Guru
Dengan terinspirasi dari Ki Hajar Dewantara, saya mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai sejarah bangsa Indonesia. Memang, ilmu dan pengetahuan serta budaya hampir tidak ada batasnya.
Ada sebuah peristiwa perdebatan seru dan terekam dalam sejarah internal kongres Budi Utomo beserta pimpinannya pada tahun 1922 silam, bagaimana Taman Siswa membuat dan memperkuat pernyataan mengenai azas pendidikannya yang berisi 7 pasal. Pasal 1 dan 2 tentang dasar kemerdekaan setiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Konsep pendidikan ini mempunyai tujuan yang melekat dalam kedirian manusia itu sendiri; bagaimana mengolah perasaan secara bebas, pemikiran yang begitu luas, dan bekerja secara merdeka namun tetap menjaga ketertiban bersama. Saya terinspirasi dengan Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Tokoh bangsa yang lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta dan mempunyai nama asli RM Soewardi Soerjaningrat tersebut.
Bukan hanya berjasa dalam bidang pendidikan Indonesia saja, tetapi memberikan sumbangsih mengenai pemikiran tentang politik negara dan kebebasan individu manusia. Saya beberapa kali datang ke seminar maupun diskusi mengenai ide dan gagasan mengenai Pendidikan Indonesia. Kerincian konsepsi yang begitu ketat dan sistematis, membuat diri saya tertegun. Secara teoritis begitu relevan sepanjang zaman. Sebagai seorang guru, pemikiran dan konseptual dari Ki Hajar Dewantara adalah marwah ideologis dan profesionalisme bagi saya — dan mungkin bagi khalayak guru seluruh Indonesia.
Pendidikan dan guru bagai dua sisi mata uang yang tak akan pernah dapat dipisahkan. Guru adalah perisai pendidikan yang akan melindungi peserta didik generasi bangsa dari serangan kemajuan zaman yang begitu pesat nan dinamis. Pada tahun 2020, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia membuat kebijakan program Guru Penggerak. Guru Penggerak adalah program pendidikan kepempimpinan bagi guru yang bersifat transformasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), transformasi adalah perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya). Jika menilik dalam konteks transformasi guru, guru bukan hanya sekadar mengajar belaka, memberikan banyak tugas, dan melakukan penilaian. Zaman berubah, waktu ke waktu melahirkan pelbagai kemungkinan. Revolusi teknologi yang begitu canggih dan mutakhir, memaksa guru untuk terus beradaptasi dan berpikir inovatif.
Kegiatan belajar mengajar mau tidak mau harus dikritisi sesuai dengan perkembangan zaman. Fenomena perkembangan teknologi global harus segera diinterupsi oleh guru. Guru diharuskan untuk melihat, membaca, berdiskusi, melakukan permenungan mendalam dalam menyikapi kondisi dan situasi seperti ini. Guru secara tidak langsung mengubah bentuk dalam metode pengajaran dan pendidikan. Sifat karakter guru yang terdahulu, segera diintegrasikan dengan nilai-nilai perkembangan ilmu dan pengetahuan kekinian. Guru bukan hanya sekadar mengajar dan mendidik, tetapi guru secara intens lebih dekat terhadap peserta didik secara psikis, emosional, dan intuitif agar lebih mudah mendekati penggalian minat, bakat, cita-cita, harapan, dan impian bagi peserta didik. Guru berfungsi sebagai teman mentor peserta didik guna menyongsong harapan meraih cita-cita dan masa depan yang cerah bagi peserta didik generasi bangsa.
Sebagai seorang guru, saya sadar betul dengan diskursus ketidakpastian zaman. Belajar, banyak membaca pelbagai jurnal serta artikel, berdiskusi dengan guru sejawat maupun lintas jurusan, mendatangi seminar dan workshop, dan aktif berselancar di media sosial sebagai arena ilmu, pengetahuan, dan informasi adalah altenatif jitu untuk antisipasi realitas kenyataan kehidupan kiwari. Menjadi guru adalah medium untuk diri saya dalam bertukar pikiran, berdiskusi, refleksi ilmu pengetahuan, merealisasi imajinasi konsepsi antarkomunitas pendidik guna menyongsong pendidikan Indonesia yang berkemajuan, berdedikasi, berbakti terhadap nusa dan bangsa. Saya banyak belajar dalam ruang lingkup pendidikan tempat saya mengajar. Pelbagai ide dan gagasan memang saya sudah dapatkan.
Namun, jika saya terus berada pada zona nyaman, bukankah kemajuan kedirian saya hanya tetap di ruang itu saja? Sedangkan, Menjadi guru adalah ruang dari pelbagai komunitas antarguru dari pelbagai ruang-ruang dari lingkungan sekolah lain dan itu, melahirkan kemungkinan-kemungkinan memperkaya pemikiran ide gagasan dalam memproyeksikan masa depan guru di tempat saya mengajar juga di wilayah sekolah-sekolah lainnya. Guru sudah sepatutnya menghasilkan sebuah karya, entah itu dalam bentuk tulisan di buku, blog, ataupun seni serta ruang dunia digital. Saya sudah beberapa kali menulis buku secara antologi, guna mengasah kemampuan saya dalam kecerdasan intelektual maupun kecerdasan berbahasa. Saya juga sangat aktif sebagai penulis maupun editor di blog yang saya buat untuk menuangkan ide gagasan serta mengajak peserta didik untuk menulis sebagai sarana ruang literasi.
Saya juga membuat dunia media sosial dalam platform instagram, tiktok, dan youtube. Media sosial adalah ruang pembelajaran yang secara tidak langsung dapat menggugah selera pemikiran dan rangsangan imajinatif bagi peserta didik. Saya merajut komunikasi antarguru mata pelajaran sebagai media pembaruan pencarian ilmu pengetahuan juga secara teknis dalam kegiatan belajar mengajar maupun yang bersifat administratif. Saya adalah guru yang haus akan diskursus ilmu pengetahuan. Membaca adalah kegemaran saya. Genre buku yang saya baca sangat beragam; sejarah, filsafat, sastra, dan agama. Membaca adalah modal bagi guru dalam membangun susunan kerangka berpikir yang akan menajamkan pembelajaran di ruang kelas. Dampaknya saya rasakan, bagaimana peserta didik sangat menyukai dan mencintai saya. Sebagai guru, kadang kala, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan peserta didik diluar dari materi pembelajaran.
Namun, saya bisa dengan senang hati berdiskusi dengan tema-tema tersebut. Tentunya, dengan mengaitkan materi yang sedang saya ajarkan. Saya adalah guru sejarah, dan seringkali peserta didik bertanya secara kritis mengenai materi yang diajarkan. Sejarah adalah kaca benggala bagi tatanan kehidupan kenegaraan. Dengan terinspirasi dari Ki Hajar Dewantara, saya mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai sejarah bangsa Indonesia. Memang, ilmu dan pengetahuan serta budaya hampir tidak ada batasnya. Namun, dengan landasan pemikiran serta filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, pendidikan Indonesia tidak tergerus dan terkikis begitu saja dengan arus global, tetapi pendidikan Indonesia terintegrasikan sehingga mampu bersaing dengan kehidupan global tanpa harus kehilangan jati diri bangsa.
Dan, itulah rincian ide gagasan serta kegiatan yang saya sudah lakukan, dan pastinya, akan ada ide gagasan cemerlang yang akan saya wujudkan sebagai motivasi dalam “Menjadi Guru”.