Isi Apa yang Kosong, Kosongkan Apa yang Terlalu Penuh

Kisah ini menggambarkan betapa pentingnya kita untuk menyadari, mengerti, dan mengamalkan makna dari kalimat

retizen /Tedi Sumaelan
.
Rep: Tedi Sumaelan Red: Retizen
https://pixabay.com/id/photos/lihat-kaleng-terlihat-wadah-timah-782494/

Sebuah kisah tentang seorang raja yang sangat kaya dan berkuasa. Ia memiliki segala sesuatu yang ia inginkan, mulai dari istana, harta, tahta, hingga wanita. Namun, ia juga sangat sombong, angkuh, dan zalim. Ia tidak pernah bersyukur, berbagi, atau beradab. Ia selalu menghambur-hamburkan hartanya, menindas rakyatnya, dan menentang Allah SWT.


Suatu hari, ia mendapat tamu yang tidak diundang. Tamu itu adalah seorang fakir yang sangat miskin dan lemah. Ia tidak memiliki apa-apa selain pakaian yang compang-camping, tongkat yang patah-patah, dan tas yang sobek-sobek. Namun, ia juga sangat rendah hati, sabar, dan taat. Ia selalu bersyukur, berdoa, dan berdzikir. Ia selalu menghemat hartanya, menolong sesamanya, dan mengabdi kepada Allah SWT.

Fakir itu datang ke istana raja dengan tujuan yang mulia. Ia ingin menasihati raja agar berubah menjadi lebih baik. Ia ingin mengajak raja agar kembali kepada ajaran Allah SWT. Ia ingin menyelamatkan raja dari azab Allah SWT.

Namun, raja tidak menerima tamu itu dengan baik. Ia malah mengejek, menghina, dan mengusir tamu itu. Ia berkata, "Siapa kau, fakir miskin yang tidak tahu diri? Apa yang kau mau dari aku, raja yang kaya dan berkuasa? Apa yang bisa kau berikan padaku, yang sudah memiliki segala sesuatu?"

Fakir itu menjawab dengan tenang dan bijak, "Aku datang kepadamu untuk memberimu sesuatu yang kau tidak miliki, yang kau butuhkan, dan yang kau cari. Aku datang kepadamu untuk memberimu kebahagiaan."

Raja tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Kebahagiaan? Apa itu kebahagiaan? Aku tidak pernah mendengar kata itu. Aku tidak pernah merasakan hal itu. Aku tidak pernah membutuhkan hal itu. Aku sudah bahagia dengan apa yang aku punya. Aku tidak memerlukan sesuatu yang tidak ada."

Fakir itu berkata, "Kebahagiaan adalah sesuatu yang ada, yang nyata, dan yang berharga. Kebahagiaan adalah sesuatu yang datang dari dalam, yang tercipta dari hati, dan yang diberikan oleh Allah SWT. Kebahagiaan adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang, dicapai dengan kuasa, atau didapat dengan keinginan."

Raja bertanya, "Kalau begitu, bagaimana cara mendapatkan kebahagiaan itu? Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku korbankan?"

Fakir itu berkata, "Cara mendapatkan kebahagiaan itu sangat mudah, tapi juga sangat sulit. Kau harus isi apa yang kosong, dan kosongkan apa yang terlalu penuh."

Raja bingung dan berkata, "Apa maksudmu? Apa yang kosong dan apa yang terlalu penuh?"

Fakir itu berkata, "Yang kosong adalah hatimu, yang terlalu penuh adalah duniamu. Kau harus isi hatimu dengan iman, ilmu, dan amal. Kau harus kosongkan duniamu dari hawa nafsu, kesombongan, dan kedurhakaan. Kau harus bersihkan dirimu dari dosa, berubah menjadi lebih baik, dan kembali kepada Allah SWT."

Raja terdiam dan berkata, "Aku tidak mengerti. Aku tidak bisa. Aku tidak mau."

Fakir itu berkata, "Itu pilihanmu. Aku hanya menasihati. Aku tidak bisa memaksamu. Aku tidak bisa menolongmu. Hanya Allah SWT yang bisa memberimu hidayah, rahmat, dan kebahagiaan. Tapi, ingatlah, bahwa hidup ini adalah ujian, dan mati ini adalah kunci. Jika kau lulus ujian ini, kau akan masuk surga. Jika kau gagal ujian ini, kau akan masuk neraka."

Fakir itu pun pergi meninggalkan raja dengan sedih dan prihatin. Ia berdoa agar Allah SWT memberi hidayah kepada raja. Ia berharap agar raja sadari kesalahannya. Ia berusaha agar raja terima nasihatnya.

Raja pun kembali ke dalam istananya dengan marah dan kesal. Ia melupakan nasihat fakir itu. Ia mengabaikan kebenaran yang disampaikan fakir itu. Ia menolak kebahagiaan yang ditawarkan fakir itu.

Ia pun melanjutkan hidupnya dengan sia-sia. Ia menghabiskan hartanya dengan boros. Ia menyia-nyiakan waktunya dengan maksiat. Ia menyakiti dirinya dengan dosa.

Ia tidak tahu bahwa ia sedang menghadapi ujian yang paling berat. Ia tidak sadar bahwa ia sedang menentukan nasibnya yang paling penting. Ia tidak peduli bahwa ia sedang menuju akhirnya yang paling menakutkan.

Kisah ini menggambarkan betapa pentingnya kita untuk menyadari, mengerti, dan mengamalkan makna dari kalimat "Isi apa yang kosong, kosongkan apa yang terlalu penuh". Kalimat ini adalah pesan yang sangat dalam dan sangat bijak. Kalimat ini adalah petunjuk yang sangat jelas dan sangat mudah. Kalimat ini adalah kunci yang sangat ampuh dan sangat berharga.

Kalimat ini mengajarkan kita untuk mengisi hati kita dengan hal-hal yang baik, benar, dan bermanfaat. Hal-hal seperti iman, ilmu, amal, taqwa, syukur, sabar, ikhlas, cinta, kasih sayang, dan kebahagiaan. Hal-hal yang bisa menenangkan, menyehatkan, menyempurnakan, dan menghidupkan hati kita.

Kalimat ini juga mengajarkan kita untuk mengosongkan dunia kita dari hal-hal yang buruk, salah, dan berbahaya. Hal-hal seperti hawa nafsu, kesombongan, kedurhakaan, dosa, kebencian, kekerasan, kezaliman, kesedihan, kegelisahan, dan kesengsaraan. Hal-hal yang bisa mengganggu, merusak, mengotori, dan mematikan dunia kita.

sumber : https://retizen.id/posts/247896/isi-apa-yang-kosong-kosongkan-apa-yang-terlalu-penuh
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler