Pakar: Perubahan Iklim Jadi Alasan Utama Inflasi Pangan
Perubahan iklim telah menyebabkan lonjakan harga pangan di berbagai belahan dunia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ahli melaporkan perubahan iklim telah menyebabkan lonjakan harga pangan di berbagai belahan dunia. Di Inggris misalnya, setiap keluarga harus membayar 605 poundsterling (sekitar Rp 11,8 juta) untuk membeli makanan, lebih mahal dibandingkan dua tahun lalu.
Meningkatnya biaya akibat cuaca ekstrem membuat inflasi pangan tetap tinggi sepanjang tahun 2022 dan 2023, meskipun harga energi mengalami penurunan. Banjir baru-baru ini di Inggris menyebabkan sereal, kentang, dan tanaman lain membusuk di bawah air. Sementara itu, panas ekstrem dan kekeringan di Spanyol telah merusak panen zaitun dan menaikkan harga minyak zaitun sekitar 50 persen.
Produk-produk pokok lainnya seperti gula, beras dan tomat telah terpengaruh oleh cuaca ekstrem, dengan inflasi makanan naik menjadi sekitar 20 persen pada musim semi ini. Dengan tingginya ketergantungan Inggris pada impor pangan, ditambah krisis iklim yang semakin parah, para ahli dari Universities of Bournemouth, Exeter dan Sheffield telah memperingatkan harga-harga pangan akan tetap tinggi.
Laporan yang didukung oleh Energy and Climate Intelligence Unit itu mencoba menjelaskan masalah utama dibalik kenaikan lonjakan pangan tersebut. Dan berdasarkan bukti yang tersedia, perubahan iklim menjadi pendorong utama inflasi pangan.
“Pada tahun 2022, biaya energi mendominasi berita utama dan hal ini berdampak pada tingginya tingkat inflasi utama untuk makanan. Namun, seiring dengan turunnya biaya energi, perubahan iklim telah muncul sebagai pendorong inflasi yang lebih besar untuk makanan selama dua tahun terakhir,” kata Professor Wyn Morgan dari University of Sheffield seperti dilansir Independent, Senin (27/11/2023)
Para peneliti menghitung bahwa sejak awal tahun 2022, kenaikan sebesar 361 poundsterling (Rp 7 juta) disebabkan oleh perubahan iklim dan 244 poundsterling (Rp 4,7 juta) disebabkan oleh minyak dan gas, dengan menggunakan data dasar tahun 1950-1980 untuk mengetahui dampak yang terus meningkat.
Dr Pete Falloon, pimpinan layanan iklim untuk pangan, pertanian dan lingkungan alam di Met Office, mengatakan bahwa secara umum, semakin tinggi suhu global, semakin rendah hasil panen. Kebijakan dekarbonisasi saat ini di antara semua negara membuat Bumi berada di jalur yang tepat untuk mencapai pemanasan sekitar 3 derajat Celsius pada akhir abad ini, dengan atmosfer yang telah menghangat 1,2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri pada 2023.
Suhu rata-rata meningkat lebih cepat di daratan daripada di lautan karena air dapat menyerap lebih banyak panas, yang berarti area-area pertanian memanas lebih cepat daripada rata-rata global.
Pekan lalu, Perdana Menteri Rishi Sunak mengatakan pada KTT Ketahanan Pangan Global pemerintah Inggris akan meluncurkan pusat virtual baru untuk menghubungkan para ilmuwan Inggris dengan ilmuwan di seluruh dunia guna membantu mengembangkan, di antara berbagai inisiatif lainnya, tanaman yang tahan terhadap perubahan iklim.
Dana hingga 100 juta poundsterling akan disediakan untuk negara-negara yang mengalami cuaca ekstrem akibat perubahan iklim, seperti Malawi, dan negara-negara lain yang dilanda kerawanan pangan, termasuk Ethiopia, Sudan, Sudan Selatan, dan Afghanistan.