Banjir Kerap Landa Kota Malang, Walhi dan MCW Soroti Persoalan Tata Ruang

Banyak kawasan resapan dialihfungsikan menjadi peruntukan bisnis.

dok. Istimewa
Sejumlah titik di Kota Malang mengalami banjir setelah diguyur hujan berintensitas tinggi (ilustrasi)
Rep: Wilda Fizriyani Red: Yusuf Assidiq

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jatim dan Malang Corruption Watch (MCW) menilai Pemerintah Kota (Pemkot) Malang masih mengabaikan masalah ruang. Hal ini diungkapkan keduanya mengingat Malang sering diterpa genangan dan banjir saat musim hujan atau pancaroba.

Direktur Eksekutif WALHI Jatim, Wahyu Eka Styawan menyatakan, banjir merupakan problem yang setia menghinggapi Kota Malang kala musim penghujan tiba sejak 2003 silam. Sejak 20 tahun lalu, banjir memang sudah terjadi namun dengan intensitas yang tidak separah lima tahun terakhir ini.


"Terhitung sejak 2019 lalu, jika ditotal Kota Malang telah mengalami sekitar lebih dari 700 kejadian banjir di seluruh Kecamatan," katanya.

Berdasarkan catatan BPBD Kota Malang pada 2022, terdapat sekitar 211 kejadian banjir sepanjang 2022. Sebagai catatan, pada bulan transisi musim penghujan ‘pancaroba’ sekitar April-Maret dan memasuki musim penghujan sekitar Oktober-Desember, Kota Malang sejak lima tahun terakhir paling tidak mengalami banjir rata-rata 20 kejadian.

Menurut dia, rangkuman ini menegaskan Kota Malang sangat rawan dan rentan terhadap bahaya hidrometeorologis. Terlebih faktor anomali cuaca yang mana krisis iklim berpadu dengan kondisi eksisting struktur permukaan ruang yang mengalami degradasi fungsi akan meningkatkan bencana.

Kota Malang merupakan salah satu daerah yang mengalami fungsi penurunan ruang resapan dan tangkapan air, atau dalam isu yang lebih luas mengalami penurunan ruang terbuka hijau.

Menurut dia, Pemkot Malang belum memiliki sensitivitas perihal persoalan banjir yang menghinggapi wilayahnya. Pada banjir 26 November 2023, pemkot mengatakan jika banjir diakibatkan oleh saluran air yang mengalami penyempitan dan sampah rumah tangga.  

Komentar ini tidak jauh beda dengan pernyataan dalam kurun waktu lima tahun belakangan. Sebelumnya, Pemkot Malang menggalakkan proyek normalisasi saluran air pada 2022 silam.  

Proyek pembangunan saluran air ini merupakan program tahunan yang memakan anggaran lumayan besar namun dampaknya tidak terlalu signifikan. Itu artinya komentar Pemkot Malang dapat dipastikan solusinya adalah normalisasi saluran air.

Walhi Jatim bersama MCW pernah membuat brief berjudul Menggugat Permasalahan Banjir di Kota Malang pada 2022. Dalam catatan tersebut, pihaknya menyampaikan, persoalan banjir di Kota Malang bukan sekadar permasalahan sampah atau saluran namun lebih pada persoalan tata ruang yang kacau.

Kota Malang diketahui tidak memiliki ruang terbuka hijau khususnya kawasan hijau atau kawasan lindung yang menjadi serapan dan tangkapan air mumpuni. Menurut dia, situasi ini terlihat dari pola ruang yang semrawut.

Banyak kawasan resapan dialihfungsikan menjadi peruntukan bisnis, seperti perumahan, ruko hingga institusi pendidikan. Bahkan, sempadan sungai yang seharusnya menjadi ruang resapan mulai dijejali aneka bangunan baru.

Koordinator MCW, Ahmad Adi mendorong agar Pemkot Malang dapat membenahi wilayahnya untuk berubah dan lebih sensitif atas krisis yang terjadi. Salah satunya dengan menegakkan prinsip keterbukaan informasi serta partisipasi yang bermakna termasuk membuka semua dokumen berkaitan dengan tata ruang.

Kemudian membuka ruang seluas-luasnya untuk memberikan masukan atau dalam kata lain melakukan tinjauan ulang Perda RTRW. Salah satu upaya dalam waktu dekat yang patut didorong adalah mendorong perlindungan kawasan hijau tersisa.

Kemudian melakukan moratorium izin pembangunan sementara waktu lalu melakukan tinjauan izin-izin pembangunan baru dengan mencocokkannya dengan kesesuaian ruang. Sementara itu, dalam jangka panjang adalah melakukan tinjauan ulang pola ruang di Kota Malang agar tahu problem alih fungsi ruang yang mendorong kerentanan wilayah.

Menurut dia, langkah-langkah tersebut semata-mata agar dapat membuat kebijakan yang lebih menekankan pada upaya pembenahan tata ruang. Kemudian dapat berfokus pada alokasi ruang terbuka hijau termasuk kawasan lindung yang menjadi tempat resapan dan tangkapan air.

"Ini dilakukan sebagai suatu upaya pemulihan kawasan dan bagian dari menghadapai serta menanggulangi dampak dari krisis iklim," kata dia menambahkan.

Pada kesempatan lain, Kabid Ruang Terbuka Hijau (RTH), Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Malang, Laode Kulaita saat ditemui Republika, menyatakan program RTH akan terus digalakkan di Kota Malang. RTH yang telah ada dipertahankan sembari terus ditambah ke depannya.

Berdasarkan data DLH Kota Malang, pihaknya memiliki target lima tahunan untuk menyediakan RTH publik secara bertahap. Pada 2023 hingga 2027, pihaknya menargetkan dapat membangun RTH publik sebanyak 730,04 hektare (ha). Adapun hingga November 2023, pihaknya baru mampu memiliki 17,73 persen RTH publik dari ketentuan minimal 20 persen.


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler