Di Balik Pria Iran yang tak Suka Berdasi Ternyata Ada Kaitannya dengan Amerika dan Israel

Pria Iran enggan berdasi sebagai bentuk perlawanan terhadap Barat

AP Photo/Vahid Salemi
Para pengunjuk rasa Iran (ilustrasi). Pria Iran enggan berdasi sebagai bentuk perlawanan terhadap Barat
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Di banyak negara, terutama yang mengalami empat musim, jas dan dasi bahkan sudah menjadi pakaian kerja sehari-hari warga.

Baca Juga


Namun, berbeda dengan di Iran. Mereka mempunyai cara berpakaian sendiri. Jas dan kemeja  tidak lagi dipadukan dengan dasi. Beberapa kali bertemu orang-orang Kedutaan Iran di Jakarta, saya tidak permah melihat mereka mengenakan dasi, baik ketika berjas maupun hanya berkemeja saja.

Juga ketika saya beberapa hari berkunjung ke Iran pekan ini, saya tidak pernah menjumpai para pria Iran mengenakan dasi. Bahkan saya juga tidak pernah menemukan toko-toko pakaian yang menjual pengikat leher kemeja itu.

Agak penasaran, saya pun bertanya kepada Sayyid Mohammad Hosein Hashemi, deputi presiden Iran untuk urusan budaya. Ada dua alasan, menurutnya, mengapa kaum pria Iran ogah mengenakan dasi. Pertama, dasi yang dikenakan dengan cara mengikat leher/kerah kemeja dianggap sebagai lambang keterkungkungan dan penjajahan.

Kedua, orang yang mengenakan dasi dikatakan Hashemi sebagai menyerupai orang-orang Barat. Ia pun menyebut sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, “Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.”

Yang dimaksud “suatu kaum” dalam hadis tadi, dalam pandangan Hashemi, adalah orang-orang Barat yang dianggapnya sebagai sering memusuhi Islam dan umat Islam. Dasi adalah aksesoris pakaian yang dikenakan sehari-hari oleh orang-orang Barat.

Baca juga: Heboh Wolbachia, Ini Tafsir dan Rahasia Nyamuk yang Diabadikan Alquran Surat Al-Baqarah

Atas dua alasan tadi, para kaum pria Iran pun tidak lagi mengenakan dasi sejak kemenangan Revolusi Islam 36 tahun lalu. Revolusi Islam Iran adalah perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Imam Khomeini untuk menjatuhkan penguasa monarki Iran, Shah Reza Pahlavi, yang telah berkuasa selama 37 tahun.

Ketika berkuasa, Shah Reza Pahlevi menyebut dirinya sebagai “Yang Mulia Baginda” dan bergelar sebagai Shahanshah alias Raja Segala Raja dan Aryamehr yang berarti ‘pemimpin bangsa Arya’. Ia menerapkan kebijakan westernisasi yang tidak lain menjadikan dirinya sebagai boneka kepentingan Barat.

Menjelang kejatuhan Shah..

 

Menjelang kejatuhan Shah, terdapat ratusan ribu orang Amerika dan Yahudi di Iran. Westernisasi ini pada gilirannya justru mengecilkan dan juga mengucilkan peran para pemimpin agama dalam kehidupan rakyat Iran. Pada 11 Februari 1979, Revolusi Islam Iran berhasil menggulingkan kekuasaan Shah Reza Pahlevi.

Sejak kemenangan Revolusi Islam, Iran yang sebelumnya sebagai monarki pun berubah menjadi Republik Islam Iran. Lagu kebangsaan yang sebelumnya memuja-muji monarki (Ey Iran) diganti dengan Sorood-e Melli-e Jomhoori-e Eslami yang bersemangatkan perjuangan melawan kezaliman. Selanjutnya, para kaum pria di seluruh negeri Iran tidak lagi mengenakan dasi.

Dengan kata lain, dasi di Iran bukan soal suka atau tidak suka, keren atawa tidak keren, dan modis atau tak modis. Namun, ia sudah menjadi semacam “ideologi”. Ia merupakan simbol kebebasan dan sekaligus perlawanan.

Kata Deputi Presiden Iran, Hashemi, kebebasan bermakna Iran bebas menentukan nasibnya sendiri. Iran juga akan terus melawan pihak manapun yang ingin mengganggu kepentingan nasionalnya.

Yang dimaksud Hashemi dengan “bebas menentukan nasibnya sendiri” antara lain tentu terkait dengan program nuklir Iran. Meskipun, menurutnya, program nuklir itu hanya untuk mencukupi tenaga listrik negaranya, Barat tetap saja menolak.

Sementara itu, sebut Hashemi, Israel yang jelas-jelas mempunyai senjata nuklir dibiarkan. “Ini yang namanya ketidakadilan. Kami harus melawan,” ujarnya. “Kami tidak akan mundur sejengkal pun dalam perundingan nuklir dengan Barat yang sekarang sedang berlangsung. Kami tidak akan mengorbankan kepentingan nasional kami.”

Baca juga: Penjelasan Alquran Mengapa Bangsa Yahudi Kerap Membuat Kekacauan

Atas sikap yang dianggap keras kepala itu, Iran pun harus menanggung akibatnya. Bertahun-tahun sudah negara berpenduduk 70 juta jiwa itu dikenakan sanksi ekonomi oleh PBB (baca: Barat) sebelum perundingan nuklir akhirnya dimulai.

Namun, Iran tetap tidak mau takluk. Embargo ekonomi itu disikapi dengan positif, yakni dengan bekerja keras memandirikan ekonomi dalam negeri. 

Hasilnya, Iran bisa mandiri dan berdikari. Ketika negara kita masih sibuk dengan mobil nasional, negara Ayatullah Imam Khamenei sudah berhasil memproduksi mobil nasional dengan berbagai merek, seperti Saipa, Runna, Samand, Pride, dan Tondar.

Bahkan, Iran juga telah mengekspor mobil nasionalnya ke negara-negara yang menjadi sekutunya di Eropa Timur, Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Dan, meskipun tidak banyak mobil-mobil mewah berseliweran di jalan-jalan raya, transportasi publik telah sangat mencukupi. 

Pasar tradisional, toko-toko, dan mal pun selalu ramai oleh pembeli. Seluruh kantor dan rumah-rumah warga di seantero negeri, kata Duta Besar Indonesia untuk Iran Dian Wirengjurit,  telah dialiri dengan gas yang memungkinkan masyarakat tidak menggigil di musim dingin dan tak kegerahan di musim panas.

Selama berada di Iran beberapa hari di awal Maret ini, saya pun sulit menjumpai para pengemis dan peminta-minta di jalan-jalan dan tempat umum lainnya. Saya juga susah membedakan kelompok warga miskin dan kaya. Para sopir bus dan angkutan kota saja memakai setelan jas senecis para eksekutif di perkantoran. Namun, sekali lagi, semuanya tanpa dasi.

Bagi Iran, penolakan terhadap dasi tampaknya akan terus dipelihara selama Barat, terutama AS dan Israel, terus memusuhi kepentingan Iran. Menurut Deputy Minister for Press and Information Iran Hossein Entezami dan Deputi Presiden Untuk Urusan Budaya Hashemi, sejak kemenangan Revolusi Islam, Amerika Serikat, dan Israel akan terus menjadi musuh utama bangsa mereka.

Entezami dan Hashemi menyebutkan, selain masalah nuklir, kedua negara itu juga merupakan biang kerok persoalan di dunia Islam.

ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), misalnya, mereka katakan sebagai konspirasi (baca: ciptaan) Amerika Serikat dan Israel. Tujuannya untuk mengacak-acak dunia Islam.

Ketidakstabilan dunia Islam pada gilirannya akan mempermudah bagi pihak Barat, khususnya Amerika Serikat, untuk tetap menguasai potensi ekonomi kawasan Timur Tengah. Sementara bagi Israel, kekacauan di berbagai wilayah di Timur Tengah akan semakin mengurangi ancaman pada keamanan mereka. 

Karena itu, bisa dipahami bila Iran hingga sekarang terus menyimpan rasa ketidaksukaan pada Amerika Serikat dan Israel. Ketidaksukaan, atau tepatnya kebencian, itu terus mereka pelihara dengan berbagai cara. Antara lain dengan menuliskan “Down with USA and Israel” dan “USA and Israel Go to Hell” di berbagai sudut Kota Teheran. Juga dalam pidato-pidato para pejabat Iran. 

Baca juga: Baca Doa Ini Agar Allah SWT Limpahkan Rahmat dan Pertolongan-Nya

Dan, jangan lupa pula bahwa kaum pria Iran ogah memakai dasi adalah sebagai bentuk perlawanan mereka kepada Amerika Serikat dan Israel itu. 

Infografis Rusia-Iran Kerja Sama, AS Ketar Ketir - (Republika)

 

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler