Tidak Ada Regenerasi Petani di Indonesia, Mengapa Harus Khawatir?

Perlu dilakukan aktivitas yang menumbuhkan minat generasi muda untuk bertani.

Republika/Wihdan Hidayat
Petani anggur, Sigit melakukan perawatan bibit anggur jenis Tamaki di rumah budidaya bibit anggur, Jipangan, Sragen, Jawa Tengah, Rabu (13/9/2023).
Rep: Wilda Fizriyani  Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Profesi petani kian tidak diminati oleh masyarakat terutama generasi muda. Tidak adanya regenerasi petani di usia muda tentu menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi pertanian Indonesia di masa mendatang.

Baca Juga


Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP) Kabupaten Malang, Avicenna Medisica Saniputera mengaku pernah beberapa kali melakukan kunjungan dan pertemuan dengan para petani di daerahnya.

"Itu anggota yang hadir usianya di atas 40 tahun, 45 mungkin, sehingga untuk 25 tahun ke depan, ini ada sedikit rawan kalau tidak bisa menumbuhkan keminatan petani muda," jelas Avicenna saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (5/12/2023). 

Dia teringat adanya keterlambatan panen tebu di Kabupaten Malang pada tahun lalu. Panen tebu biasanya sudah selesai pada akhir November. Namun pada tahun itu, kata dia, tidak semua panen dapat dilaksanakan tepat waktu.

Mengetahui kondisi tersebut, pihaknya pun berusaha mendalami masalah itu. Hasilnya didapatkan bahwa terdapat kelangkaan tenaga kerja untuk lahan atau buruh panen tebu. Sebagian besar para buruh tebu di daerahnya sudah tua dan sulit mendapatkan regenerasinya. 

Avicenna tidak menampik situasi tersebut menjadi kerisauan tersendiri baginya. "Jadi kerisauan bersama bagaimana pertanian ini, bagaimana kalau pemudanya tidak mau respons, tidak tertarik dan tidak minat. Tentunya ini perlu langkah-langkah," ucapnya.

Menurut dia, pemerintah pusat bersama pemerintah daerah telah memulai upaya untuk meningkatkan jumlah petani muda. Salah satunya dengan program pelatihan petani milenial yang telah dilaksanakan sejak 2021. Hingga saat ini, setidaknya terdapat 6.000 petani muda yang dihasilkan di daerahnya. 

Petani muda telah mendapatkan....

 

Untuk diketahui, para petani muda tersebut telah mendapatkan banyak pelatihan sesuai minat. Beberapa di antaranya seperti manajemen bisnis, penyusunan proposal, pelatihan budidaya tanaman pangan dan hortikultura, pengolahan pascapanen, pengolahan kopi, peternakan dan lain-lain. Saat ini pihaknya akan terus berusaha mengawal mereka agar terdapat multilayer efek di daerahnya masing-masing.

Di samping itu, Avicenna juga mengungkapkan, sebagian besar peserta yang mengikuti pelatihan petani milenial lebih banyak memilih bidang industri pengolahan pascapanen dan hortikultura kopi. "Tetapi kendalanya memang untuk tanaman pangan khususnya padi, itu keminatan sangat kecil. Kalau tidak salah, tidak sampai 200 orang dari 6.000 orang," jelasnya.

Avicenna tidak mengetahui pasti alasan anak muda tidak berminat mengolah pertanian padi. Namun dia memperkirakan adanya pola pikir bahwa bertani padi berarti menjadi petani sebenarnya. Ditambah lagi, sentuhan teknologi belum masuk di bidang tersebut.

Sebagaimana diketahui, aktivitas petani padi lebih banyak di lahan terbuka seperti membajak sawah dan teknologinya masih tradisional. Kondisi ini tentu menjadi pekerjaan bersama bagaimana caranya regenerasi di bidang pertanian dapat berjalan dengan baik.

"Yang kuncinya menimbulkan keminatan generasi muda untuk terjun di dunia pertanian," kata dia menambahkan.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah petani Indonesia sejak 2013 terus mengalami penurunan. Saat ini, jumlah petani di Indonesia sebanyak 29,3 juta petani, berkurang dari tahun 2013 yang mencapai 31 juta petani. Petani di Tanah Air juga didominasi petani berusia tua.

Sekretaris Utama BPS Atqo Mardiyanto mengatakan, meski jumlah Usaha Pertanian Perorangan (UTP) menurun, tapi untuk rumah tangga usaha pertanian (RTUP) naik 8,74 persen. Saat ini, ada 28,4 juta RTUP di Indonesia.

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler