Arab Saudi Tolak Wacana Penghentian Minyak Bumi di COP28

Arab Saudi merupakan negara pengekspor minyak bumi terbesar di dunia.

ELG21/www.pixabay.com
Penghentian sementara energi minyak bumi telah termaktub dalam draft pertama dari kesepakatan mengenai aksi iklim di COP28.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penghentian sementara energi minyak bumi telah termaktub dalam draft pertama dari kesepakatan mengenai aksi iklim di COP28. Namun, Arab Saudi yang merupakan pengekspor minyak terbesar di dunia dengan tegas menolak agenda tersebut.

Baca Juga


“Tentu saja menolak. Dan saya jamin tidak ada satu orang pun, saya maksud di sini adalah pemerintah, yang akan percaya dengan hal itu,” kata Menteri Energi Arab Saudi, Pangeran Abdulaziz bin Salman, saudara tiri dari penguasa de facto Putra Mahkota Mohammed bin Salman, seperti dilansir France24, Selasa (5/12/2023).

Sekitar 200 negara harus mengambil keputusan konsensus dalam konferensi iklim PBB ke-28 yang diadakan di Dubai pada 30 November hingga 12 Desember. Dalam sebuah wawancara dengan AFP pekan lalu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan penghentian total penggunaan bahan bakar fosil termasuk minyak dan gas, dengan memperingatkan bahwa bencana besar sedang menanti umat manusia.

Namun, Pangeran Abdulaziz percaya bahwa agenda penghentian total bahan bakar fosil juga tidak akan diterima oleh negara petrostate lainnya.

“Saya ingin menantang semua orang yang muncul di depan publik dan mengatakan bahwa kita harus menghentikan bahan bakar fosil. Saya akan memberikan nama dan nomor mereka, menelepon mereka dan menanyakan bagaimana mereka akan melakukannya,” kata dia.

“Jika mereka percaya bahwa ini adalah masalah moral tertinggi, fantastis. Biarkan mereka melakukannya sendiri. Dan kita akan melihat seberapa besar yang bisa mereka berikan,” tambah Pangeran Abdulaziz.

Secara terpisah, kerajaan Saudi juga mencemooh sumbangan Barat untuk dana kerugian dan kerusakan iklim yang dinilai sangat kecil, dan membandingkannya dengan bantuan Riyadh kepada negara-negara berkembang. Dana untuk negara-negara yang rentan sejauh ini telah menarik sekitar 655 juta dolar AS dari para donor termasuk Uni Eropa dan Amerika Serikat - jumlah yang masih jauh dari kata cukup dalam membantu negara berkembang-miskin beradaptasi dengan perubahan iklim.

“Tidak seperti perubahan kecil yang ditawarkan untuk kerugian dan kerusakan dari mitra-mitra kami di negara-negara maju, Kerajaan Arab Saudi melalui kerja sama Selatan-Selatan mengumumkan dalam KTT Afrika Saudi di Riyadh bulan lalu alokasi hingga 50 miliar dolar AS," ujar Abdulaziz dalam sebuah pesan video untuk forum Inisiatif Hijau Saudi pada hari Senin, yang diadakan di sela-sela COP28.

Menurut dia, dana tersebut akan membantu membangun infrastruktur yang tangguh dan memperkuat ketahanan dan adaptasi iklim di benua Afrika secara langsung melalui para pemangku kepentingan Saudi.

Dana swasta tersebut telah dikritik oleh para pegiat karena kurangnya transparansi dan karena janji tersebut tidak mengikat dan mencakup pinjaman dan investasi. Sementara itu, menurut Abdulaziz, Arab Saudi telah merombak sumber-sumber energinya, berinvestasi pada energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi energi karena mencoba untuk mendekarbonisasi ekonominya pada tahun 2030.

Namun target tersebut tidak termasuk emisi dari 8,9 juta barel minyak per hari yang diekspor oleh Arab Saudi. Afrika dan bauran energinya merupakan area fokus bagi Saudi dan UEA, yang pada bulan September menjanjikan 4,5 miliar dolar AS untuk investasi energi bersih di benua tersebut.

"Anda tidak dapat pergi ke negara-negara yang belum berkembang atau negara-negara berkembang dan meminta mereka untuk melakukan langkah-langkah transisi yang sama. Terutama orang-orang yang tidak memiliki akses ke energi," kata Yasir Al-Rumayyan, ketua perusahaan minyak raksasa Saudi Aramco.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler