Bedanya Boikot Produk Pro Israel di Indonesia dan Luar Negeri

Supermarket Yordania melabeli produk yang diboikot karena pro Israel.

Republika/ Febrian Fachri
Seorang Caleg PDIP di Padang lakukan aksi tunggal boikot produk pro yahudi.
Rep: Iit Septyaningsih Red: Lida Puspaningtyas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi boikot produk pro Israel masih terus dilakukan oleh masyarakat di sejumlah negara. Namun, pemboikotan yang dilakukan di setiap negara memiliki dampak berbeda.

Di Indonesia misalnya, pemboikotan yang dilakukan terus-menerus menimbulkan ancaman pengurangan karyawan atau PHK. Sementara di negara lain seperti Yordania, ancaman PHK tidak digubris.

Baca Juga


Bahkan, beberapa karyawannya justru memilih mengundurkan diri dari perusahaan yang dinilai mendukung Israel. Masyarakatnya juga menyatakan dengan lantang tidak takut akan PHK.

Dilansir dari The World, seorang warga Yordania, Souad al Dawood menyatakan teguh beralih dari Starbucks ke kafe lokal Marouf. Dia mengatakan, gerakan boikot telah membantunya agar lebih memperhatikan barang atau produk yang dibeli.

"Saat saya ke pasar, saya melihat produknya sendiri dan membaca, terkadang saya membuka Google dan memeriksa produk apa yang ada di negara ini, perusahaannya, dari negara mana," ujarnya seperti dilansir The World, Selasa (5/12/2023).

Ia menambahkan, jika produk tersebut berhubungan dengan bahasa Inggris seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Perancis, maka dirinya tidak jadi membeli. Meski begitu, kata Dawood, tidak semua orang yakin.

Misal, kata dia, ayahnya yang berpendapat gerakan boikot tidak akan membawa banyak perubahan. Dawood pun tidak setuju dengan pendapat tersebut.

"Saat kita terus mendorong, mendukung, dan memprotes, pasti sesuatu yang besar akan terjadi," tegasnya.

Perlu diketahui, Dawood merupakan seorang dokter gigi anak yang berencana ke AS untuk belajar. Hanya saja, sambung dia, dukungan AS terhadap Israel telah mengubah pikirannya.

Dawood bahkan mengaku muak, karena AS tidak berbuat lebih banyak guna menghentikan kematian di Gaza. Dirinya menegaskan, bakal melanjutkan aksi boikot. Dawood mengungkapkan, tidak ingin lagi pergi ke Starbucks atau McDonald's.

Warga Yordania kompak berhenti...

Warga Yordania kompak berhenti membeli beragam produk AS dan Eropa yang menyatakan mendukung Israel secara finansial atau memiliki sikap pro Israel. Starbucks dan McDonald's di ibu kota Yordania Amman sebagian besar kosong.

Lalu di supermarket Shooneez di Amman, terdapat dua jenis label pada setiap produknya. Label pertama untuk memperlihatkan harganya, lalu ada label merah guna memperingatkan pelanggan jika produk tersebut termasuk dalam daftar boikot.

"Waspadalah. Produk-produk ini diboikot. Pilihanmu," tulis label merah tersebut, seperti dilansir The World, Selasa (5/12/2023).

Aksi boikot sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Banyak orang menyatakan boikot bahkan cancelling produk pro Israel. Apindo juga telah menyampaikan bahwa penjualan ritel untuk produk sehari-hari dari merek yang diboikot sudah turun hingga 45 persen.

Namun Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal menilai, setiap negara mempunyai karakteristik berbeda. Semakin banyak suatu negara memakai produk atau merek global dari perusahaan multinasional, maka efek boikotnya tentu semakin besar.

"Apalagi kalau kemudian boikotnya massal. Kenapa dampaknya (boikot) di suatu negara bisa lebih sedikit, itu jika jumlah orang yang bekerja pada perusahaan multinasional tersebut bisa jadi lebih sedikit," jelasnya kepada Republika, Selasa (5/12/2023).

Maka, kata dia, perlu studi lebih lanjut guna melihat perbedaan ini. Studi dimaksud yaitu dengan membandingkan satu negara dengan negara lainnya.

Di Indonesia sendiri, sambungnya, berbagai produk pro Israel yang beredar di media sosial sudah membuat sebagian masyarakat bereaksi. Sebagian masyarakat itu lalu memboikot sejumlah produk di daftar tersebut, sehingga menyebabkan penurunan penjualan.

"Produknya luas. Produk yang diboikot lebih ke produk waralaba yang makanan cepat saji, karena itu suatu kebutuhan tersier, makanan tp makanan berhibur bukan yang dikonsumsi sehari-hari, jadi lebih mudah," jelas Faisal.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler