Posisi Perempuan di Pemberitaan Politik: Berselimut Patriarki

Dunia politik dapat diibaratkan seperti pasar bebas.

Republika/Prayogi
Ketua DPR Puan Maharani (tengah) bersama para wakil ketua DPR dan pimpinan fraksi DPR berfoto saat Rapat Paripurna Khusus di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/8/2023). Rapat paripurna tersebut dalam rangka HUT DPR RI Ke-78 dan penyampaian laporan kinerja DPR tahun sidang 2022-2023 oleh Ketua DPR.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Suci Marini Novianty, Sri Wijayanti, Naurissa BiasiniProdi Ilmu Komunikasi UPJ

Sejak era reformasi, perjuangan untuk mendapatkan kebebasan memasuki dan berpartisipasi dalam dunia politik menjadi semakin sengit. Kebebasan ini dapat diartikan sebagai hak setiap individu untuk memiliki peluang yang sama dalam memasuki dan meraih kesuksesan di arena politik. Namun, pertanyaan mendasar muncul, apakah kebebasan tersebut benar-benar dapat memberikan peluang yang setara bagi politisi perempuan dan laki-laki?

Dalam konteks reformasi, dunia politik dapat diibaratkan seperti pasar bebas, di mana individu bebas memperdagangkan segala sesuatu untuk dapat masuk ke dalamnya. Salah satu langkah yang harus diambil oleh individu dalam meraih kesuksesan politik adalah melakukan promosi diri agar dikenal oleh masyarakat.

Promosi diri sebagai seorang politisi menjadi salah satu strategi dalam bingkai pemasaran politik. Berbagai metode promosi diri dapat dilakukan, di antaranya melibatkan diri dalam liputan media.

Akan tetapi, hal yang menarik dan penting untuk dibahas adalah ketidaksetaraan dalam pemberitaan antara politisi perempuan dan laki-laki. Ketidaksetaraan itu terlihat dari cara media massa membingkai pemberitaan berkenaan dengan pemilihan gambar, hingga judul-judul untuk merepresentasikan perempuan.

Penelitian politisi perempuan yang berasal dari kalangan artis yang dilakukan Rachma Ida, Universitas Airlangga pada 2013, citra yang timbul tidak mengalami perbedaan yang signifikan. Mereka sering dinilai kurang memiliki kemampuan dan kompetensi, serta kerap diasosiasikan dengan aspek fisik seperti istilah “cantik,” “seksi”, dan “penghangat suasana”.

Bahkan, dalam beberapa situasi tertentu, seksualitas dan sensualitas menjadi bahan dagangan media massa untuk menarik bagi konsumen media. Hal ini menjadi berbahaya karena media massa turut membentuk pola pikir masyarakat dalam memandang politisi perempuan.

Penelitian yang dilakukan oleh tim dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya (UPJ), Bintaro, mengenai intensitas konsumsi media dan persepsi terhadap politisi perempuan menunjukkan hasil yang menarik. Penelitian ini menjadikan Puan Maharani sebagai subjek penelitian. Puan merupakan politisi PDI Perjuangan, ketua DPR RI periode 2019-2024, dan pernah ‘dirumorkan’ berencana mencalonkan diri sebagai Presiden RI pada Pemilu 2024 sekitar pertengahan tahun 2021-2022.

Survei yang dilakukan dalam penelitian ini mengungkapkan persepsi masyarakat terhadap Puan masih dipengaruhi oleh pembingkaian negatif dalam media. Penelitian yang melibatkan responden berusia 20 hingga 50 tahun di kota-kota besar di Pulau Jawa menunjukkan informan menemukan konten terkait Puan Maharani melalui berbagai platform media, termasuk media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube, serta media massa tradisional seperti radio dan televisi.

Sebagian besar informan cenderung memandang konten politik Puan sebagai sesuatu yang mudah dipahami, mencakup strategi personal branding, pesan kampanye yang lembut, dan berita-berita yang berkaitan dengan partai dan peran legislatifnya. Namun, ketika tim peneliti melakukan pendalaman melalui wawancara dengan sejumlah informan, terdapat variasi dalam penafsiran terhadap pesan politik Puan.

Beberapa informan menafsirkan pesan politik Puan dengan cenderung ke arah perspektif negosiasi, yakni menyelaraskan pesannya dengan citra partainya sebagai wakil rakyat, dan menghargai keberagaman. Namun, sebagian lainnya menganggap bahwa Puan hanya mengandalkan garis keturunannya dan menolak gagasan pencalonan dirinya sebagai calon presiden.

Secara keseluruhan, para informan menyatakan keengganan mereka untuk mempertimbangkan Puan  sebagai calon presiden Indonesia di masa depan. Temuan ini menegaskan bahwa Puan, sebagai politisi perempuan dan perempuan urban, menghadapi ketidakberuntungan dalam struktur masyarakat.

Meskipun penelitian ini tidak mengidentifikasi interpretasi dominan di antara para informan, pemaknaan informan yang sangat menentang atau kontra terhadap konten Puan dapat dikaitkan dengan pembingkaian media. Pembingkaian media adalah cara di mana media menyajikan suatu peristiwa atau isu, dan dapat memengaruhi cara masyarakat memahami dan merespons peristiwa tersebut.

Dalam kasus Puan Maharani, media massa tradisional cenderung membingkai dirinya sebagai seorang politisi yang hanya mengandalkan garis keturunan, merendahkan nilai pencapaian individual Puan, seperti pengalamannya sebagai menteri dan anggota DPR. Media massa tradisional yang secara laten membentuk hal tersebut adalah televisi dan surat kabar.

Konten-konten di media massa, yang lebih menekankan pada latar belakang keluarga Puan daripada pencapaian individunya, telah membentuk persepsi masyarakat terhadap Puan Maharani. Pembingkaian yang dominan ini membuat masyarakat kesulitan melihat Puan dari sudut pandang baru di media sosial. Selain itu, ujaran kebencian yang ditujukan kepada Puan di platform media sosial semakin menambah pertentangan terhadap partisipasinya dalam dunia politik.

Pembingkaian media, yang dipengaruhi oleh struktur politik yang kuat, berhasil membentuk persepsi terhadap perempuan urban ketika menginterpretasikan politisi perempuan. Pembingkaian media yang terasa patriarkis menjadi sorotan utama.

Pembingkaian ini bersifat patriarkis karena menempatkan Puan sebagai politisi yang tidak memiliki kemampuan dan kompetensinya sendiri serta hanya bergantung pada latar belakang keluarganya. Pembingkaian media yang patriarkis ini dapat berdampak negatif terhadap persepsi masyarakat terhadap Puan, yakni membuat masyarakat menjadi lebih skeptis terhadap kemampuan dan kompetensinya sebagai politisi perempuan.

Kondisi ini menunjukkan perempuan harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan liputan media yang mendukung dan menciptakan citra positif. Dalam dunia politik, perempuan seharusnya menjadi subjek berita yang dapat memperkuat dan membangun posisi mereka di ruang publik.

Apalagi, temuan penelitian menunjukkan bahwa perempuan masih mengalami marginalisasi dalam liputan media. Marginalisasi ini tidak hanya terkait minimnya jumlah liputan politisi perempuan, tetapi juga mencakup substansi dari liputan tersebut.

Perempuan sering kali dihadirkan sebagai objek yang terkait dengan seksualitas dan sensualitas dalam berita, dan stereotip terhadap perempuan ini seringkali diperkuat oleh perempuan sendiri. Media cenderung memilih narasumber yang sejalan dengan ideologi tertentu, yang dapat menguatkan pemahaman yang tidak adil.


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler