‘Atasi Krisis Iklim Membutuhkan Solusi yang Sistemik’

Rubby menyoroti bagaimana krisis iklim juga harus menggunakan lensa keadilan.

Republika/Fernan Rahadi
Co-Founder Aktivasia, Rubby Emir (kanan) saat mengisi materi di depan para peserta event Bengkel Hijrah Iklim (BHI) 2.0 di Yogyakarta, Rabu (6/12/2023).
Red: Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Krisis iklim kian menjadi ancaman nyata bagi bumi dan seisinya. Akan tetapi, masih banyak orang yang melihat krisis tersebut sebagai sesuatu yang parsial, bukan sistemik.


"Padahal krisis iklim itu adalah sesuatu yang sistemik, bukan parsial. Jika masalahnya sistemik maka orientasi solusi juga harus sistemik," ujar aktivis sekaligus Co-Founder Aktivasia, Rubby Emir, di sela-sela event Bengkel Hijrah Iklim (BHI) 2.0 di Yogyakarta, Rabu (6/12/2023).

Rubby tidak ingin menyepelekan berbagai macam gerakan yang bersifat parsial seperti pilah sampah, zero waste, dan sebagainya mengingat gerakan-gerakan tersebut juga turut berkontribusi terhadap permasalahan iklim. 

"Akan tetapi (solusi iklim-Red) akan lebih baik jika dilakukan secara masif, terorganisir, dan dilakukan oleh banyak orang," kata Rubby yang bertindak sebagai pemateri pada event tersebut.

Rubby pun menyoroti bagaimana krisis iklim juga harus menggunakan lensa keadilan. Ia melihat bagaimana selama ini belahan bumi bagian utara melakukan konsumsi lebih banyak daripada belahan bumi selatan. Oleh karena mengonsumsi lebih banyak, maka belahan bumi utara tersebut juga memproduksi emisi karbon lebih banyak.

"Memang pemanasan global itu dirasakan oleh semua orang, tapi pemanasan tersebut dirasakan lebih besar dan lebih berat oleh kelompok tertentu di belahan bumi selatan mencakup kelompok miskin, anak-anak, perempuan, dan masyarakat adat. Oleh karena itu kita harus pakai lensa keadilan supaya solusinya pun benar dan sesuai dengan prinsip keadilan," kata Rubby.

Menurut Rubby, pemerintah harus didorong agar meregulasi perusahaan-perusahaan yang memproduksi makanan-makanan dengan kemasan plastik sekali pakai. Pemerintah juga harus membuat regulasi yang jelas dalam hal mendekarbonisasi sistem energi serta memperbolehkan energi-energi terbarukan masuk.

"Jadi (masyarakat) jangan naif. Tidak apa-apa aksinya lokal, tetapi orientasinya harus sistemik. Oleh karena itu pemerintah harus didorong untuk meregulasi, jangan hanya selesai di tataran edukasi, penyadaran, dan aksi bersama," katanya.

Selain berisi tentang materi Krisis Iklim dalam Perspektif Keadilan, sebanyak 20 peserta BHI 2.0 hari ini juga mendapatkan materi tentang Active Citizenship dan Mengembangkan Strategi Kampanye/Solusi Iklim. Selain itu juga terdapat Ngaji Iklim: Tauhid dan Akhlak Lingkungan.

Adapun agenda hari keempat Kamis (7/12/2023) besok di antaranya adalah Jurnalisme Investigasi, Kampanye Digital, Mengidentifikasi Masalah & Isu Strategis, Jalan Menuju Sukses, serta Taktik.

Selain Rubby, pembicara lain yang mengisi BHI 2.0 ini di antaranya adalah Gus Aak (LPBI NU), Rara Salsabila (aktivis), M Rifandi (MLH Muhammadiyah), Kholida Anissa (IPM & Alumni BHI), serta Aldy Permana (Purpose).

Bengkel Hijrah Iklim merupakan satu inisiatif dari MOSAIC yang bertujuan memberdayakan dan menyiapkan anak muda Islam untuk menjadi pemimpin dalam solusi iklim di Indonesia. Tahun ini, Bengkel Hijrah Iklim mengangkat tema ‘Anak Muda dan Aksi Perubahan Iklim di Akar Rumput’.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler