Catatan Sejarah Gambarkan Kesulitan Perjalanan Haji di Era Kolonialisme
Di era sekarang, BPKH melakukan pengelolaan keuangan haji.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ratusan tahun bumi Nusantara mengalami proses Islamisasi yang datang bersamaan dengan aktivitas perdagangan. Para saudagar dari Gujarat, Arab dan Eropa berdatangan ke berbagai kerajaan di Nusantara untuk mendapatkan rempah-rempah yang sangat bernilai dan berharga mahal.
Di kemudian hari, sejarah mencatat ada beberapa negara yang menjadi serakah dan menjajah untuk menguasai sumber daya alam bumi Nusantara. Setidaknya ada enam negara yang tercatat pernah menjajah yaitu Spanyol, Portugis, Perancis, Inggris, Belanda (VOC) dan Jepang.
Charles Ralph Boxer seorang sejarawan sejarah maritim dan kolonial Belanda dan Portugis (1969) menduga ketika Portugis berkuasa di Malaka pada tahun 1511, ada cukup banyak pelayaran perdagangan yang membawa hasil bumi dari Nusantara melalui laut merah dan pelabuhan Jeddah. Dari pergerakan pelayaran ini diyakini tidak hanya terjadi mobilitas barang atau jual beli semata, namun juga mengangkut orang-orang yang ingin menunaikan ibadah haji.
Sayangnya tidak ada naskah yang secara persis mencatat penyelenggaraan haji oleh Spanyol dan Portugis, Prancis maupun Inggris. Tetapi ketika Belanda (VOC) berkuasa ada banyak naskah yang memuat tentang ibadah haji di masa tersebut. Hal ini dijelaskan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dalam bukunya berjudul Sejarah Ibadah Haji Indonesia Dari Masa ke Masa yang diterbitkan BPKH, 2023.
Ketika kongsi dagang Belanda VOC berkuasa pada 1602-1800, hampir seluruh sektor ekonomi dan bisnis dimonopoli. Pada masa itu, kolonial sudah memiliki aparatur pemerintahan lengkap, bahkan penegak hukum dan undang-undangnya, berikut angkatan bersenjatanya. VOC juga tercatat campur tangan dalam pemerintahan sejumlah kerajaan di di Nusantara. Tak heran situasi ini memunculkan perlawanan dari raja-raja Nusantara.
VOC, Haji, Pelayaran dan Bisnis...
VOC, Haji, Pelayaran dan Bisnis
Salah satu yang menarik perhatian Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) adalah perjalanan ibadah haji yang dilakukan umat Islam dari sejumlah tempat di Tanah Air (Nusantara/ Indonesia) menuju Tanah Suci Makkah dan Madinah yang mencapai ratusan hingga ribuan orang. Bagi VOC, hal tersebut adalah potensi bisnis yang besar dan sangat menguntungkan.
Ketika itu belum ada maskapai pelayaran yang khusus mengangkut jamaah haji ke pelabuhan Jeddah, Arab Saudi. Banyak umat Islam Nusantara yang ingin berhaji namun tidak ada moda transportasi selain kapal layar yang dimiliki kompeni. Belum ada persaingan yang berarti dari maskapai pelayaran negara lain.
VOC kemudian berbuat seenaknya saat mengangkut jamaah haji, dengan mengenakan ongkos yang mahal tetapi tidak diimbangi pelayanan yang baik dan manusiawi serta alakadarnya. Penumpang ditempatkan di sembarang tempat di sela-sela muatan barang yang diangkut kapal dan berada di buritan tanpa perlindungan dari panas, hujan dan ombak.
Selain itu maskapai juga tidak bertanggungjawab atas penderitaan yang dialami jamaah haji yang diangkutnya. Jika ada jamaah yang wafat dalam perjalanan akan dimakamkan di pelabuhan terdekat.
Pasca penemuan mesin uap oleh James Watt pada tahun 1769 kemudian dikembangkan untuk pelayaran oleh John Fitch pada tahun 1787 dan Robert Fulton di tahun 1802. Sejak itu dimulailah era baru haji dengan menggunakan kapal laut bermesin uap yang membuat perjalanan haji menjadi lebih cepat.
Pelayaran Jamaah Haji Era Kolonial Memprihatinkan...
Pelayaran Jamaah Haji Era Kolonial Memprihatinkan
Tahun 1799 VOC resmi bubar, penanganan haji diambil alih oleh kolonial Belanda. Industri pelayaran semakin berkembang, karena teknologi yang semakin maju. Semakin cepat waktu tempuh juga membuat semakin banyak umat Islam yang ingin berhaji. Potensi bisnis ini ditangkap Belanda dengan mengangkut sebanyak-banyaknya jamaah dalam satu pelayaran. Banyaknya jamaah haji yang diangkut tidak berbanding lurus dengan pelayanan dan kenyamanan.
Penasihat kolonial Belanda Snouck Hurgronje mencatat ada 700 jamaah haji yang diangkut oleh kapal Gelderland ke Jeddah. Namun tidak diimbangi dengan jumlah makanan yang memadai, fasilitas kesehatan juga sangat kurang. Keamanan dalam perjalanan juga tidak menjadi prioritas.
Menurut guru besar sejarah Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dien Madjid, banyak penumpang yang terpaksa tidur di dek kapal tanpa kasur atau di atas tumpukan barang, terhimpit koper milik jamaah dan kerap kali tanpa penerangan. Saat malam ombak besar menerjang, air laut masuk dan membasahi tubuh mereka. Koper milik penumpang terlempar ke laut dan baru disadari ketika pagi datang.
Pakaian, surat-surat penting, emas dan barang berharga lain milik jemaah musnah, hanya tersisa kain di badan. Ketika kapal sandar, yang bersangkutan akan melaporkan ke konsulat untuk mendapatkan perlindungan sesuai ketentuan yang berlaku.
Seiring dengan waktu, semakin banyak orang pribumi yang tidak kembali ke Tanah Air hingga bertahun-tahun berada di Tanah Suci meskipun musim haji telah berlalu. Laporan konsul Belanda di Jeddah pada tahun 1898 Masehi (1315 Hijriyah) mencatat ada 13.325 warga Hindia Belanda tinggal di Tanah Suci terdiri atas pria, wanita maupun, anak-anak baik sebagai jamaah haji ataupun menetap (mukimin).
Sebelumnya Belanda juga mencatat sepanjang tahun 1850-1856 tercatat 12.985 warga Hindia Belanda berangkat pergi haji. Namun yang kembali ke Tanah Air hanya 5.594 orang saja. Situasi ini membuat kolonial semakin cemas. Terlebih setelah kembali ke Indonesia, seseorang terlihat lebih fanatik, berani serta memiliki wawasan yang lebih luas.
Belanda mencari cara mengurangi animo umat Islam Hindia Belanda (Indonesia) untuk berhaji tanpa harus mengalami perlawanan fisik yang merugikan kolonial.
Belanda Persulit Muslim Nusantara Berangkat Haji...
Belanda Persulit Muslim Nusantara Berangkat Haji
Tahun 1825, 1827, 1831 dan 1859, pemerintah Kolonial mengeluarkan berbagai resolusi (ordonnaties) yang ditujukan untuk pembatasan ibadah haji dan memantau aktivitas mereka sekembalinya ke Tanah Air. Salah satunya dengan mengenakan ongkos naik haji yang tinggi, yakni sebesar 110 gulden perorang pada tahun 1825. Biaya ini terus naik hingga menjadi 220 gulden pada tahun 1859. Langkah lain adalah dengan penerapan wajib lapor dan screening bagi jamaah sepulang menunaikan ibadah haji.
Dien Madjid mengungkapkan sepanjang tahun 1888-1894 terjadi penurunan jumlah jamaah haji yang kembali ke Indonesia dibandingkan dengan jumlah yang berangkat ke Makkah. Pada tahun 1888-1894 sebanyak 41.410 orang berangkat haji, yang kembali ke Indonesia hanya 27.581 orang. Sebanyak 13.829 orang dinyatakan belum kembali.
Jamaah haji yang telah kembali dari menunaikan ibadah haji kemudian membuka pesantren di kampung halaman untuk mengajarkan pemahaman agama. Seseorang yang bergelar haji juga lebih didengar dan dipatuhi.
Pada rentang waktu yang sama, gerakan Pan-Islamisme yang dikumandangkan Khilafah Turki Ustmaniyah juga semakin membesar ke banyak negara yang sedang terjajah. Belanda takut akan membuat fanatisme serta perlawanan terhadap penjajah semakin meningkat sehingga akan membahayakan posisi Belanda sebagai penjajah.
Kondisi ini yang membuat pemerintah kolonial Belanda turun tangan mengatur perjalanan ibadah haji mulai dari Hindia Belanda ke Tanah suci hingga kembali ke Tanah Air. Jika dalam penyelidikan ditemukan seseorang beralasan pergi haji namun tidak benar menunaikannya, maka gelar haji akan dicabut dan dikenakan denda sebesar 25 sampai 100 gulden. Sayangnya upaya pemerintah kolonial tidak berdampak besar terhadap animo umat Islam Hindia Belanda untuk pergi haji.
Era BPKH Tingkatkan Kualitas Penyelenggaraan Haji...
Era BPKH Tingkatkan Kualitas Penyelenggaraan Haji
Jika di era penjajahan perjalanan ibadah haji dikelola pemerintah kolonial Belanda yang tidak memperhatikan keamanan dan keselamatan jamaah haji. Di era sekarang perjalanan ibadah haji dikelola oleh pemerintah Indonesia. Jamaah haji dibantu segala sesuatunya oleh Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) yang ditetapkan pemerintah.
Disamping itu, BPKH yakni lembaga yang melakukan pengelolaan keuangan haji. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, rasionalitas dan efisiensi penggunaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan manfaat bagi kemaslahatan umat Islam.
Pada 17 Oktober 2022, Presiden Joko Widodo melantik 14 Pejabat Pimpinan BPKH periode 2022-2027 dengan Keppres Nomor 101/P Tahun 2022. BPKH berhasil merealisasikan sejumlah target yang ditetapkan dalam 100 hari kerja, salah satu yang signifikan adalah pembentukan anak usaha BPKH di Arab Saudi dengan nama Syarikah BPKH Limited serta telah mendapatkan commercial registration dari Ministry of Commerce Saudi Arabia pada tanggal 16 Maret 2023.
BPKH Limited merupakan anak usaha BPKH yang bergerak diberbagai bidang usaha dalam ekosistem haji dan umroh, sekaligus berperan sebagai instrumen mitigasi risiko investasi BPKH di Arab Saudi untuk menciptakan portofolio yang optimal dengan tingkat risiko yang terkendali. Terbentuknya anak perusahaan BPKH Limited di Arab Saudi diharapkan mampu memberikan kontribusi pada perolehan nilai manfaat dan bisa melakukan efisiensi berbagai biaya dalam penyelenggaraan ibadah haji.
BPKH mengelola keuangan haji bertujuan agar nilai manfaat dari pengelolaan keuangan haji tersebut dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji. BPKH terus berupaya meningkatkan nilai manfaat dari pengelolaan keuangan haji melalui investasi. Tujuannya untuk menjaga keberlanjutan keuangan haji ke depannya.