BPS Pakai Acuan Baru dalam Penghitungan Inflasi Mulai 2024

Acuan baru lainnya yakni memperhitungkan bobot pasar dan bobot kualitas.

Dok Humas BPS
Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti.
Red: Ahmad Fikri Noor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan acuan baru dalam penghitungan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) mulai 2024. Hal itu didapatkan dari Survei Biaya Hidup (SBH) 2022, dengan pertimbangan pemulihan perekonomian pascapandemi.

Baca Juga


Dengan demikian, penyajian IHK 2024 akan menggunakan tahun dasar 2022, dari penghitungan sebelumnya yang menggunakan tahun dasar 2018.

"Sebenarnya pemutakhiran data IHK ini biasanya kami lakukan lima tahun sekali, namun karena adanya pandemi COVID-19 yang mengubah gaya hidup mengharuskan kami memperbaharui SBH," ucap Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar dalam acara Sosialisasi hasil SBH 2022 yang dipantau secara virtual di Jakarta, Selasa.

Amalia berharap acuan baru dalam penghitungan inflasi tersebut akan semakin menjadikan IHK sebagai indikator yang lebih baik untuk melihat kinerja upaya pengendalian inflasi, menyusun berbagai kebijakan perekonomian baik fiskal maupun moneter, serta dasar dalam penghitungan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan pengukuran upah dan gaji.

Ia menjelaskan, pemutakhiran tahun dasar penghitungan IHK dilakukan karena perubahan pola konsumsi masyarakat akibat perubahan teknologi, perilaku, pendapatan, selera, dan sebagainya, perkembangan jenis dan kualitas barang atau jasa, kondisi krisis, hingga perubahan pasar, toko, dan supermarket, setelah Covid-19 melanda.

Adapun acuan baru yang didapat dari SBH 2022 untuk pengukuran IHK tersebut yakni penyempurnaan adopsi Consumer Price Index (CPI) Manual dan Classification of Individual Consumption According to Purpose (COICOP) 2018, serta penambahan 60 kabupaten sampel menjadi 150 kabupaten/kota dari sebelumnya 90 kabupaten/kota.

Kemudian, penambahan sampel rumah tangga menjadi 240 ribu dari 141.600 rumah tangga, perubahan komposisi nilai konsumsi menjadi 38,04 persen untuk makanan dan 61,96 persen non makanan dari 33,68 persen komponen makanan dan 66,32 persen komponen non makanan, serta penambahan komoditas menjadi 847 dari 835 komoditas.

Amalia menambahkan, acuan baru lainnya yakni memperhitungkan bobot pasar dan bobot kualitas serta pencacahan beberapa komoditas dari pasar daring (online).

"Penambahan pasar daring dilakukan karena selain berpengaruh terhadap gaya hidup dan pola konsumsi penduduk, kemajuan teknologi telah mendorong pertumbuhan dan perkembangan usaha berbasis digital," ucap dia.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler