Pemerintah Militer Myanmar Tangkap Dua Jurnalis Lokal

Sudah lima reporter Dawei Watch ditangkap sejak kudeta terhadap Aung San Suu Kyi.

AP/Sakchai Lalit
Warga negara Myanmar yang tinggal di Thailand memegang foto tahanan politik yang dieksekusi di Myanmar, saat mereka memprotes di luar kedutaan Myanmar di Bangkok, Thailand, Selasa, 26 Juli 2022. Kemarahan internasional atas eksekusi empat tahanan politik Myanmar meningkat dengan protes akar rumput dan protes keras. kecaman dari pemerintah dunia.
Rep: Lintar Satria Red: Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemerintah militer Myanmar menangkap dua orang jurnalis situs berita lokal. Tindakan ini merupakan pembungkaman terbaru kebebasan pers sejak militer berkuasa hampir tiga tahun yang lalu.


Pemimpin redaksi Dawei Watch yang meminta namanya tidak disebutkan karena khawatir dengan pembalasan dari pihak berwenang mengatakan Aung San Oo dan Myo Myint Oo ditangkap pada Senin (11/12/2023) malam di rumah mereka di Kota Myeik. Kota itu terletak 560 kilometer dari kota terbesar Myanmar, Yangon.

Pemimpin redaksi itu mengatakan dua jurnalis tersebut ditangkap tiga hari setelah mereka pulang dari persembunyian dan pasukan keamanan memberitahu keluarga mereka para jurnalis itu ditangkap atas berita yang mereka terbitkan. Komputer dan telepon genggam para reporter dan anggota keluarga mereka disita polisi.

Pemimpin redaksi juga mengatakan para wartawan itu ditahan di kamp interogasi. Sebagian besar liputan Dawei Watch di selatan Myanmar.

"Para wartawan menulis laporan berita dan memproduksinya sesuai dengan etika jurnalisme. Menulis laporan bukanlah sebuah kejahatan," kata kata pemimpin redaksi Dawei Watch, Rabu (14/12/2023).

"Menangkap, menginterogasi, dan mengambil tindakan terhadap para jurnalis dengan cara yang sama seperti yang dilakukan terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan seharusnya tidak diperbolehkan. Jadi saya ingin mengatakan: Bebaskan para jurnalis yang ditahan sesegera mungkin," katanya menambahkan.

Pemimpin redaksi Dawei Watch mengatakan sejak militer mengkudeta pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari 2021 sudah lima reporter dan seorang kolumnisnya yang ditangkap.

Menurut Reporters Without Borders, Myanmar salah satu negara yang paling banya memenjarakan jurnalis, kedua setelah Cina. Negara itu juga berada di peringkat terbawah dalam Indeks Kebebasan Pers yaitu di peringkat 173 dari 180 negara tahun ini.

Menurut para pekerja media di Myanmar yang melacak situasinya setidaknya 14 media dicabut izinnya dan setidaknya 163 jurnalis ditangkap sejak kudeta, dengan sekitar 49 di antaranya masih ditahan. Lebih dari separuh dari mereka yang masih ditahan telah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman.

Sebagian besar jurnalis yang ditahan didakwa dengan tuduhan penghasutan karena diduga menimbulkan ketakutan, menyebarkan berita palsu, atau melakukan agitasi terhadap pegawai pemerintah.

Para peneliti mengatakan setidaknya empat pekerja media telah dibunuh dan yang lainnya disiksa selama dalam tahanan.

Sebagian besar media, termasuk Dawei Watch, sekarang beroperasi secara semi sembunyi-sembunyi, menerbitkan daring karena para anggota stafnya berusaha menghindari penangkapan. Yang lainnya beroperasi dari pengasingan.

Bulan lalu, pemerintah militer mengubah undang-undang penyiaran untuk menempatkan Dewan Penyiaran Televisi dan Radio di bawah kendali langsung dewan militer yang berkuasa. Sebelumnya, undang-undang ini memungkinkan dewan tersebut beroperasi secara bebas tanpa pengaruh dari organisasi pemerintah manapun.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler