Banyak Utang Piutang Berujung Maut, Ini Solusi Luhur yang Ditawarkan Alquran
Islam mengatur aturan dan adab dalam utang piutang
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kasus utang-piutang yang berujung kepada bunuh diri kini kian banyak terjadi. Salah satunya adalah tewasnya satu keluarga di Malang, Jawa Timur beberapa waktu lalu.
Ini sungguh miris karena semestinya masih bisa di atasi oleh tetangga atau orang pemberi utang dengan dalih saling membantu kepada orang yang kesusahan.
Alquran surat Al-Baqarah ayat 280 telah mengajarkan untuk saling bantu membantu orang yang kesulitan. Berikut bunyi ayat tersebut:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Jika dia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Kamu bersedekah (membebaskan utang) itu lebih baik bagimu apabila kamu mengetahui(-nya).”
Ada beberapa tafsir tentang ayat yang menganjurkan menganggap lunas utang bagi mereka yang benar-benar tidak sanggup membayar utangnya.
Dalam tafsir Tahlili, dikutip dari Alquran Kemenag diterangkan bahwa ayat tersebut merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya.
Ayat yang lalu memerintahkan agar orang yang beriman menghentikan perbuatan riba setelah turun ayat di atas. Dan para pemberi utang menerima kembali pokok yang dipinjamkannya.
Maka ayat ini menerangkan jika pihak yang berutang itu dalam kesukaran berilah tempo hingga dia sanggup membayar utangnya. Sebaliknya bila yang berutang dalam keadaan lapang, dia wajib segera membayar utangnya.
Sebab membayar utang tetap kewajiban bagi yang berutang. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ (رواه البخاري ومسلم) "Penundaan pembayaran utang oleh orang kaya adalah perbuatan zalim." (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim).
Tafsir ringkas Kemenag juga tak jauh berbeda yakni menganggap utang yang berutang lunas jika dia mengalami kesulitan atau akan terjerumus ke dalam kesulitan apabila membayar utangnya.
Baca juga: Israel Kubur Warga Hidup-Hidup, Alquran Ungkap Perilaku Yahudi kepada Nabi Mereka
Oleh karena itu para pemberi utang dianjurkan tidak menagih berkali-kali jika dirasaakan mendatangkan kesulitan lain kepada yang berutang. Tentu setelah tenggat waktu pelunasan telah dilakukan beberapa kali. Karena sejatinya utang tetap harus dibayarkan.
Maka dari itu ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa perintah memberikan sedekah kepada yang berutang karena tidak sanggung membayarnya.
Kemudian ayat tersebut juga memerintahkan kepada pemberi utang agar memberikan tangguh apabila orang yang berutang akan mendapatkan kesulitan jika membayar utang.
Dan dianjurkan menganggap lunas utang sebagian atau keseluruhan. Namun dengan syarat yang berutang benar-benar tidak sangguh membayar utang atau mendatangkan kesulitan apabila membayar utang.
Sementara itu, Dalam Surat Al-Baqarah Ayat 282 dijelaskan dengan detail cara terbaik orang melakukan hutang piutang. Berikut ini penjelasan ayat tersebut dan tafsirnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ فَلْيَكْتُبْۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔاۗ فَاِنْ كَانَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِالْعَدْلِۗ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَۤاءُ اِذَا مَا دُعُوْا ۗ وَلَا تَسْـَٔمُوْٓا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلٰٓى اَجَلِهٖۗ ذٰلِكُكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدْنٰىٓ اَلَّا تَرْتَابُوْٓا اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا ا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَاۗ وَاَششْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah pencatat menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya.
Hendaklah dia mencatat(nya) dan orang yang berutang itu mendiktekan(nya). Hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun.
Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada) sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Janganlah kamu bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perniagaan tunai yang kamu jalankan di antara kamu. Maka, tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak mencatatnya.
Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah ayat 282)
Baca juga: Israel Kubur Warga Hidup-Hidup, Alquran Ungkap Perilaku Yahudi kepada Nabi Mereka
Dalam penjelasan tafsir Kementerian Agama dari ayat di atas, dengan adanya perintah membelanjakan harta di jalan Allah SWT, anjuran bersedekah dan larangan melakukan riba, maka manusia harus berusaha memelihara dan mengembangkan hartanya, tidak menyia-nyiakannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah.
Hal ini menunjukkan bahwa harta itu bukan sesuatu yang dibenci Allah dan dicela agama Islam.
Bahkan Allah di samping memberi perintah untuk itu, juga memberi petunjuk dan menetapkan ketentuan-ketentuan umum serta hukum-hukum yang mengatur cara-cara mencari, memelihara, menggunakan dan menafkahkan harta di jalan Allah SWT.