Kalkulator Kematian AI, Perangkat yang Diklaim Bisa Prediksi 'Sisa Hidup' Seseorang

Peneliti mengeklaim tingkat akurasi kalkulator kematian ini mencapai 74 persen.

Dok. Freepik
Kalkulator (ilustrasi). Peneliti di Denmark mengembangkan perangkat kalkulator kematian AI. Kalkulator ini diklaim mampu memprediksi kematian seseorang.
Rep: Adysha Citra Ramadani Red: Qommarria Rostanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekelompok peneliti dari Technical University of Denmark mengembangkan perangkat yang disebut kalkulator kematian berbasis AI. Kalkulator kematian ini menggunakan model chatbot bernama life2vec. Sekitar 74 persen prediksi yang diberikan oleh kalkulator kematian AI ini diklaim terbukti benar.

Baca Juga


"Kami menggunakan rentetan kejadian dalam hidup untuk memprediksi kehidupan manusia," ujar ketua tim peneliti, Sune Lehmann, kepada New York Post seperti dilansir India Times pada Jumat (22/12/2023).

Chatbot life2vec bekerja dengan cara menganalisis beragam faktor yang bisa berkontribusi pada harapan hidup. Sebagai contoh, riwayat masalah kesehatan mental, usia, diagnosis penyakit, jenis profesi dan posisi pekerjaan, hingga besar pemasukan.

Untuk bisa melakukan analisis yang komprehensif, chatbot life2vec slot5000 telah dilatih untuk mengolah data dalam kurun waktu 2008-2026. Selama kurun waktu ini, life2vec diperkaya dengan data riil dari kehidupan enam juta warga Denmark.

Tim peneliti mengungkapkan, data-data riil mengenai kehidupan banyak orang yang digunakan untuk life2vec terjamin keamanannya. Mereka tidak membuka data tersebut untuk publik dan perusahaan.

Cara kerja life2vec mirip seperti ChatGPT. Pengguna bisa mengajukan pertanyaan sederhana, seperti peluang mereka untuk meninggal dunia dalam empat tahun ke depan melalui ketikan. Life2vec mampu memberikan prediksi kematian dalam empat tahun ke depan dengan benar pada sekitar 75 persen kasus, seperti dilansir USA Today.

Selain itu, tim peneliti mengungkapkan life2vec juga mampu memprediksi siapa saja partisipan dalam penelitian yang akan mengalami kematian pada 2020 dengan tingkat akurasi 78 persen. Akan tetapi, tim peneliti tidak memberitahukan hasil ini kepada para partisipan karena bertentangan dengan kode etik.

Saat ini, program dan data life2vec belum dirilis secara publik. Tim peneliti masih mengembangkan cara untuk membuat chatbot ini mampu memberikan hasil yang lebih terbuka tanpa melanggar privasi para partisipan yang terlibat dalam studi.

Di sisi lain, profesor di bidang ilmu komputer Tina Eliassi-Rad mengungkapkan bahwa chatbot ini dikembangkan dengan data-data warga Denmark. Oleh karena itu, chatbot ini mungkin tidak dapat memberikan akurasi yang sama tingginya pada orang-orang di luar Denmark.

Selain itu, Eliassi-Rad menilai bahwa teknologi seperti life2vec sejatinya tidak dimanfaatkan untuk memberikan hasil atau prediksi individual. Teknologi seperti ini lebih tepat digunakan untuk menganalisis tren-tren sosial yang terjadi di tengah masyarakat.

"Meski kami menggunakan prediksi (kematian) untuk mengukur seberapa baik model-model (chatbot) kami, perangkat ini tidak seharusnya digunakan sebagai prediksi untuk orang sungguhan," ujar Eliassi-Rad. 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler