Larangan Masuk Pekerja Palestina, Ekonomi Israel Rugi Ratusan Juta Dolar AS
Israel butuh lebih dari 30 ribu pekerja asing untuk mengisi kekurangan tenaga kerja.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan Israel mengakui jika keputusan pemerintah untuk melarang masuknya sebagian besar pekerja Palestina dari Tepi Barat sejak perang dengan Hamas pada 7 Oktober 2023 sangat merugikan perekonomian negara zionis tersebut. Kemenkeu Israel memprediksi jika larangan ini berlanjut, maka akan merugikan ekonomi hingga miliaran shekel Israel (NIS) per bulan.
"Kami menghitung kerugian ekonomi yang akan terjadi jika warga Palestina tidak bekerja mencapai 3 miliar NIS atau setara 830 juta dolar AS per bulan," kata perwakilan kementerian kepada Komite Pekerja Asing Knesset dilansir The Times of Israel pada Rabu (27/12/2023).
Hal ini ditambah dengan krisis tenaga kerja di Israel yang terus menyulitkan kondisi ekonomi Israel.
Sejak serangan Israel ke Palestina pada 7 Oktober, lebih dari 150 ribu pekerja dari Tepi Barat tidak bisa lagi memasuki Israel untuk bekerja. Sementara, lebih dari 10 ribu pekerja asing, terutama dari Thailand, meninggalkan Israel setelah serangan tersebut.
Laporan media mengatakan Israel membutuhkan lebih dari 30 ribu pekerja asing untuk mengisi kesenjangan tenaga kerja, yang diperburuk oleh mobilisasi ratusan ribu tentara cadangan Israel untuk perang.
Pekan lalu sekitar 10 ribu pekerja Palestina dari Tepi Barat akan kembali bekerja di permukiman dan bisnis Israel di Tepi Barat. Keputusan untuk mengizinkan warga Palestina kembali bekerja diambil setelah adanya tekanan besar dari pabrik dan pemilik usaha yang menderita secara finansial akibat hilangnya sebagian besar tenaga kerja mereka.
"Kami berada dalam kesulitan yang sangat buruk," kata Presiden Asosiasi Perusahaan Bangunan Israel, Raul Sargo.
Ia mengatakan kepada komite jika industri benar-benar terhenti dan produktivitasnya hanya 30 persen. Sedangkan 50 persen lokasi pembangunan ditutup dan hal ini berdampak pada perekonomian Israel dan pasar perumahan.
Awal bulan ini, kabinet keamanan tingkat tinggi menolak memberikan suara pada proposal yang mengizinkan pekerja Palestina memasuki Israel dari Tepi Barat. Sedangkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang tampaknya mendukung langkah tersebut, dengan tidak membawa masalah ini ke pemungutan suara karena adanya perbedaan pendapat antara menteri-menteri kabinet keamanan dan kekhawatiran ia tidak akan mendapatkan suara mayoritas.
"Negara Israel harus memutuskan apakah mereka dibantu oleh pekerja Palestina atau tidak," kata Ketua Komite Pekerja Asing, Likud MK Eliyahu Revivo.
"Selama tidak ada solusi yang diberikan, Israel masih bergantung pada pekerja Palestina. Pemerintah hanya menunda masalah ini."