Eks Komisioner KPU Heran KPK tak Bisa Tangkap Harun Masiku
Wahyu Setiawan siap membantu KPK menemukan keberadaan politikus PDIP Harun Masiku.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022, Wahyu Setiawan mengaku belum pernah bertemu dengan politikus PDIP Harun Masiku yang kini sedang menjadi buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Saya belum pernah ketemu, sampai sekarang belum pernah ketemu," kata Wahyu usai diperiksa penyidik di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (28/12/2023).
Wahyu mengaku komunikasi dengan Harun selalu diperantarai oleh Agustiani Tio Fridelina. Menurut dia, ada puluhan pertanyaan yang diajukan penyidik lembaga antirasuah dalam pemeriksaan yang berlangsung selama enam jam tersebut.
Wahyu juga berharap KPK bisa segera menangkap Harun Masiku agar perkara tersebut tuntas. "Saya juga mempertanyakan kenapa KPK tidak segera menangkap Harun Masiku ya kan? KPK kan bisa menangkap saya, kenapa Harun Masiku tidak bisa ditangkap?" ucapnya mempertanyakan.
Wahyu juga mengaku tidak mengetahui keberadaan Harun Masiku saat ini. Bahkan, ia bersedia membantu KPK menangkap Harun jika tahu keberadaannya. "Kalau saya tahu, saya tangkap lah, mau bantu KPK," tuturnya.
Adapun penyidik KPK memanggil Wahyu Setiawan untuk diperiksa sebagai saksi dugaan suap penetapan anggota DPR RI periode 2019-2024 dengan tersangka Harun Masiku.
Wahyu juga merupakan terpidana dalam kasus yang sama dan saat ini tengah menjalani bebas bersyarat dari pidana tujuh tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedungpane Semarang, Jawa Tengah.
KPK menjebloskan Wahyu ke balik jeruji besi berdasarkan putusan MA Nomor: 1857 K/ Pid.Sus/2021 jo putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 37/Pid.Sus-TPK/2020/PT DKI jo putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 28/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst tanggal 24 Agustus 2020 yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sudah selesai dipenjara...
Terpidana Wahyu juga dibebani kewajiban untuk membayar denda sejumlah Rp 200 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan. Yang bersangkutan juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik selama lima tahun terhitung setelah selesai menjalani pidana pokok.
Sebelumnya, amar putusan kasasi terhadap Wahyu adalah menjatuhkan pidana penjara selama tujuh tahun dan pidana denda sebesar Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan ditambah pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik selama lima tahun terhitung setelah selesai menjalani pidana pokok.
Meski majelis kasasi menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU), namun khusus permohonan pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik bagi Wahyu telah dipertimbangkan dan diputus sebagaimana permohonan dari tim JPU dalam memori kasasi yang sebelumnya telah diajukan kepada MA.
Dalam persidangan tingkat pertama di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 24 Agustus 2020, majelis hakim memutuskan Wahyu divonis enam tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider empat bulan kurungan. Majelis hakim pun memutuskan tidak mencabut hak politik Wahyu pada masa waktu tertentu seperti tuntutan JPU KPK.
Kemudian pada 7 September 2020, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis 6 tahun penjara bagi Wahyu atau masih lebih rendah dibanding tuntutan JPU KPK yang menuntut agar Wahyu divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan.
Putusan banding tersebut tidak menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik bagi Wahyu selama empat tahun setelah menjalani hukuman pidana seperti yang dituntut KPK.